Minggu, 19 Februari 2012

Definisi Ilmu dalam Pandangan Fuqoha, Asya’irah, Filosof dan Sufi.


Definisi Ilmu dalam Pandangan Fuqoha, Asya’irah, Filosof dan Sufi.


Pertama, kami mulai dengan menyebut pandangan fuqoha dan Asy’ariyah secara bersamaan. Karena  seorang faqih dalam syari’at  melahirkan  perkara-perkara yang sempurna dan sebagian perkara-perkara yang kuat. Asyari tidak mengajukan perkara yang sempurna melainkan dari seorang faqih. Mazhabnya dan orang yang mengikuti jalannya beranggapan bahwa mereka melahirkan perkara-perkara yang kuat. Para sufi menganggap pendapat itu lemah  dan mereka mentertawakannya serta menganggap keduanya (pendpat fuqoha dan Asyariyah) hanya berada dalam bayangan hakikat kebenaran dan usaha keduanya tidak berada dalam jalan (yang benar). Kedua pendapat itu menurut para sufi adalah sesuatu yang  terputus dari (jalan yang benar) bagi para pencari kebenaran dan justru sebaliknya mereka akan menghasilkan sesuatu yang jauh dari yang dicintainya (al Mahbub).  Bersamaan dengan itu, para sufi berkata seperti yang mereka katakan dan beramal sebagaimana yang mereka amalkan namun tanpa keyakinan bahwa bidayah (permulaan) adalah masalah fiqh sedangkan nihayah (substansi) adalah masalah sufi. Siapa yang mencari nihaya melalui jalan bidayah, maka dia akan melenceng dari hidayah. Dan siapa yang mencari bidayah melaui jalur nihayah,  maka dia akan tersesat dan tak akan sampai kepada kepada tujuan.
Setiap zaman ada mazhab dan setiap  maqom ada mathlab.  Untuk menjelaskan itu, akan kami kemukakan beberapa contoh. Anak kecil apabila masuk ke suatu tempat kajian (mahdar)  dan dia akan tahu apa yang ada di dalam tempat itu, niscaya akan melahirkan manfaat. Kemudian dia keluar dari tempat itu, menghadap guru lalu dia akan mendapatkan ajaran guru itu. Kemudian dia berpindah menuju tingkatan membaca, dan menulis  hingga  mengalahkan  makna dan hijab indrawi, hingga dia memutuskan untuk  berkhalwat dan menyendiri.  Oleh karena itu, kami katakan bahwa menghadiri mahdar adalah muqoddiman  untuk menghadap guru dan guru adalah muqoddimah  untuk membaca dan  membaca adalah muqoddimah untuk takhalluk (menyucian diri) dan wilayah (muttasilul ilmi)
Diluar dari itu, bahwa setiap wali adalah guru dan tidak setiap guru adalah wali. Setiap pelajar hadir di tempat ilmu tetapi tidak setiap yang hadir di tempat ilmu adalah pelajar. Dan seorang sufi berdoa semoga Allah memberi bimbingan kepada anda agar dapat menghasilkan kesimpulan ilmu ilahi dan seorang faqih dengan muqoddimahnya. Pendapat yang terdekat tidak menyebut satu dari beberapa sisi dan tidak akan terjatuh diantara keduanya juga diantara hubungan itu. Karena muqoranah atau hubungan itu tidak terjadi kecuali dengan keragaman yang disepakati dengan definisi yang berbeda caranya.
Seorang Filosof banyak (memiliki) senjata tapi tak punya tanduk, panjang persiapannya tapi pendek  materi dan keberaniannya. Disifati dengan  keadaan dan kekuatan, namun sengsara  diri dan keinginannya, makanan hatinya tanpa garam dan air. Para Filosof bersungguh-sungguh dalam menata usianya dengan lam dan lima (pertanyaan-pertanyaan), tidak mengharapkan  keuntungan dunia dan akhirat. Kemuliaannya lebih jelas dari sinar matahari di siang dan pagi hari, kesungguhannya lebih  terkenal dari petir dan angin, dia memproklamirkan  kebenaran, namun menolong lawannya,  menjaga kebatian  dan bersungguh-sungguh mengatasinya. Kemudian dia konsisten dengan tabi’at dan apa-apa yang ada sesudahnya. Dan pada sisi lain membangun pengajaran dan maksud-maksudnya. Dia konsisten diantara keduanya dengan makna-makna rasional, memberikan kelebihan kepada orang mukmin dengan lafad-lafad yang jelas. Dan dia tidak tahu bahwa logika adalah kekuatan diri, walaupu jiwa itu jalan di sisi kebenaran dan sejalan dengan pembicaraan manusia sesuai dengan -perbuatan mereka dengan berpegang kepada kaidah-kaidah ‘aqliyah dan memberikan pengaruh kepada kebenaran dan perwujudannya. Mereka kembali kepada diri mereka sendiri karena kecukupan mereka dalam memahami logika. Dalil itu didasari atas tiga bentuk:
1.                          kenabian. Dan apa-apa yang dikandung atasnya berupa pengetahuan dan keutamaan Ilahi. uraiannya tentang maujudat dan pemahamannya tentang makna rasional, dan perumpamaan-perumpamaan rasional serta peristiwa-peristiwa gaib. Pengetahuan tentang pembicaraan dan argumentasi yang pasti untuk melakukan perlawanan hingga dapat mengambil dari tangannya apa yang menentangnya.
2.                          Jiwa yang bijak (para filosof), yaitu tidak akan pindah dari kemandiriannya dengan hikmah dan tingkatan-tingkatannya yaitu dari sisi jiwa atau bertambahnya hikmah itu kecuali dalam bentuk yang sempurna dan keadaan akal mustafad akan kembali pada perbuatan-perbuatan, dan bersatulah ilmu dengan yang diketahuinya tanpa logika terlebih dahulu. Dan tidak diketahui dari luar karena sesungguhnya dalam dan luar, bersambung dan terpisah adalah satu kesatuan materi, oleh karena itu logika merupakan sarana penyambung pada tingkatan itu. Logika dari sisi ini hanyalah obat dari segala penyakit yang banyak.
3.                          sesungguhnya pengajaran, apabila anda perhatikan hakikatnya adalah pembersihan terhadap kotoran-kotoran jiwa, dan kotoran tersebut tidak akan hilang kecuali dengan menyucikan jiwa itu. Seakan-akan ilmu nadzari itu bagaikan air dan sabun tidak yang lain. Dan terdapat dalam jiwa, orang yang berjalan dan mencari di dalam hatinya hingga ia mendapatkannya tanpa pembimbing. Dan ketahuilah, inilah petunjuk yang paling lurus daripada orang yang paling mengetahui, karena sesungguhnya dia mengambil dari jiwa yang lain, dan yang lain dari yang lain pula, berlaku terus-menerus, itu karena Allah. Lalu dia kembali kepada Allah karena Allah memberi petunjuk kepadanya.

Nabi tidak datang untuk mengajarkan anda dengan ilmu, sesungguhnya dia datang kepada anda, mengajarkan anda dengan orang yang mengajar dan dia memberikan ilmu, memberi petunjuk dan menebar kebaikan kepada yang lain. Oleh karena itu, mencapai bahagia dan sangat bahagia. Oleh karena itu, sebagian Sufi berkata bahwa ilmu nadzari membersihkan kotoran-kotoran dan ilmu hati membersihkannya dan menghilangkannya. Sesungguhnya ilmu nadzari adalah indrawi karena dia merupakan himpunan dari indera, dan akal hayula. Ilmu qalbi adalah maknawi. Inderawi dicuci seperti tadi, maka yang maknawi juga seperti itu. Apabila anda melihat seseorang yang menghilangkan kesamaran hati dan keraguan dengan mencucinya atau anda melihat orang yang menghilangkan kelaparan dengan bukti-bukti maka setiap orang Alim akan masuk ke dalamnya. Dan setiap Mazhab mempunyai tahqiq dan makhariq. Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya yang kita cintai dan setiap yang kita cintai dicari dan diusahakan serta dikehendaki sesungguhnya dia berada di dalamnya atau bersamanya. Adapun hakikat, mungkin dusta mungkin pula prasangka, dan kebaikan ada dua, mungkin kebaikan (dzati) substansialis atau (‘aradli) kebaikan materi. Kebaikan dzati terhadap sesuatu yang baik di dalamnya adanya dzat itu sendiri. Sedangkan kebaikan ‘aradli terhadap sesuatu karena di dalamnya ada materi. Contoh dari kebaikan dzati adalah kebahagiaan dengan ilmu, hidayah, ridla Allah, mendengar, taat, dan segala sesuatu kemampuan yang dikandung oleh kebaikan itu. Adapun contoh dari kebaikan ‘aradli, jatuhnya batu dari kesulitan bagi orang muslim lalu ia terbuka, dan itu bersifat materi. Oleh karena itu, pernyataan orang munafik bertentangan dengan sesuatu yang ada di dalam diri karena dia merupakan kebaikan luar dan pada hakikatnya di dalam diriny adalah jahat. Kebaikan dibagi tiga (3): 1. kebaikan yang dikehendaki oleh dirinya sendiri. 2. kebaikan yang tidak dikehendaki terhadap orang lain. 3. kebaikan yang dikehendaki untuk dirinya dan dikehendaki untuk yang lain. Kebaikan yang dikehendaki untuk yang lain namun tidak untuk dirinya, tidak pula pada waktu-waktu tertentu. Yang pertama adalah kebaikan mutlak, yaitu Allah SWT. yang kedua, seperti mencari ilmu untuk dirinya, wilayah, dan yang lainnya. Untuk dirinya bukan untuk yang lainnya. Yang ketiga, seperti orang yang meminum obat, minum obat yang pahit supaya sembuh.

Orang yang berakal, kapan dia dapat kebaikan yang wajib tidak akan menuntut yang mumkin. Tidak berkehendak untuk dirinya dan juga tidak berharap. Seorang Filosof memberikan kebaikan namun tidak menunjukkannya, la lahu ilaihi thoriqun (tidak ada jalan untuk menunjukkannya), tidak pula ada satu sisi dari tiga sisi yang telah disebutkan pada bagian kedua.

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya semua yang ku tuliskan untukmu tentang ilmu kaum (social) dan apa-apa yang aku catatkan untukmu dari perkataan mereka, tidak kami sebutkan kecuali untuk mengajarkan kepadamu bagaimana berbicara kepada mereka. Dan yang kami jelaskan kepadamu yakni anda berbicara terhadap diri anda sendiri maka itulah kebaikan karena kebaikan pada hakikatnya adalah kenabian.

Ketahuilah, engkau telah memberi contoh-contoh dari sesuatu yang bertentangan dari adapt kebiasaan dan itu menunjukkan urusan-urusan ilmiah, jelas membutuhkan makna-makna ilmiah dan itu semua menunjukkan semua pada kebaikan. Aku berbicara tentang kalam Tuhannya dan menjelaskannya dan Tuhan  itu pemberi nikmat. Maka seakan-akan Nabi dan Filosof bertentangan. Kita katakana bahwa Nabi itu lebih khusus atas kebaikan, memberikan faedah dan petunjuk pada kebaikan itu, namun seorang Filosof tidak mengkhususkan atasnya atau tidak mengajarkan kebaikan, tidak pula memberi petunjuk kecuali hanya sekedar pelatihan saja, atau dengan apa-apa yang tidak diketahuinya terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya. Sedangkan Sufi, bersama kebenaran seperti Filosof bersama Sufi. Apabila telah jelas bagi anda tingkatan-tingkatan yang lima (5), maka inilah penjelasan yang akan kami sebutkan kepada anda, maka kami katakan:
  1. definisi Ijtihad menurut Fuqaha’, yaitu mengerahkan segala usaha dan kemampuan untuk mencari hukum Syari’at.
  2. menurut Asy’ariyah, pandangan yang jelas kepada ilmu yang disertai dengan akal yang sehat, ilmu yang jelas, menuju jalan-jalan yang lurus. Ilmu menurut seorang Faqih adalah mengetahui hukum-hukum syari’at melalui ijtihad dan arti ilmu menurut mereka merupakan sesuatu yang dipahami atau memahami sesuatu dari firman Tuhan dan sabda Rasul, dan itu semua dirujuk pada Bahasa Arab, seperti yang dikemukakan oleh para Ulama Salaf bukan merupakan hasil penelitian dan bukan pula hasil pemikiran yang diperoleh dalam urusan-urusan rasional.
Definisi ilmu menurut Asy’ari, yaitu mengetahui ilmu dari ilmu itu sendiri. Ini sesuatu yang mereka anggap baik dari definisi yang lalu. Mazhab Asy’ariah ditinjau dari sisi Asy’ari adalah penolong seorang Faqih. Seorang Faqih dari sisi kefaqihannya mengenal Asy’ari. Syari’at itu merupakan hal yang rasional dan tersusun dari dua yang telah disebutkan. Apabila seorang Faqih menetapkan pembicaraan maka itu lebih sempurna dan lebih lengkap, demikian pula menurut Asy’ari, seorang Faqih tingkatannya adalah mutaqaddimah Asy’ari, karena Fiqih merupakan pemahaman terhadap nas-nas syari’at dan penelitian terhadapnya. Mengetahui itu sama dengan Mazhab Asy’ari. Karena Asy’ari membangun mazhabnya dari al-Kitab dan al-Sunnah, yaitu dengan jalan takwil dan taqrir. Dua sisi tersebut adalah konsistensi Syari’at dan pemeliharaan akal, dan Allah menganugerahkan itu kepada semua. Sesungguhnya kami akan menghimpun pembicaraan yang keduanya dengan format yang satu dan pembagian yang satu pula. Kami serahkan kepada anda makna faqih dan Asy’ari.

Hukum dibagi menjadi dua (2): 1. Hukum ‘Aqli, dan 2. Hukum Syar’i. Hukum ‘Aqli seperti peristiwa-peristiwa alam dan penetapan sesuatu, penetapan para Nabi dan sebagainya dari ushuluddin. Yang benar dalam masalah ini adalah satu, selainnya dalah bathil. Kami memulai dengan menyebut hukum syar’I ketika kami menyebut hukum ‘Aqli. Hukum syar’i  terbagi dua: 1. yang membutuhkan ijtihad, 2. yang tidak membutuhkan ijtihad. Adapun yang tidak membutuhkan ijtihad dibagi dua: 1. sesuatu yang diketahui dari agama Rasulullah, seperti salat fardlu, zakat wajib, haram zina, homoseks, minum-minuman keras, dan sebagainya. Siapa yang melanggar sesuatu dari ilmu ini maka dia kafir, karena itu diketahui dari agama Allah SWT secara pasti. Siapa yang menentang sungguh dia telah mendustai Allah dan Rasul-Nya. 2. sesuatu yang tidak diketahui dari agama Rasulullah, seperti hukum-hukum yang berasal dari ijma’ sahabat, fuqaha’ dahulu dan sekarang, tetapi dia tidak diketahui dari Rasulullah. Siapa yang menentang sesuatu ini setelah ia mengetahuinya, maka ia adalah seorang fasiq. Adapun sesuatu yang membutuhkan ijtihad, yaitu masalah-masalah yang terjadi perbedaan di kalangan fuqaha’, dua atau lebih. Maka ijtihad itu terjadi perbedaan yang banyak. Diantara manusia ada yang berkata benar, dan di sisi lain ada yang berkata bathil.
Ketahuilah sesungguhnya dosa itu adalah membuat kesalahan, yang jelas ini menurut mazhab Syafi’i. mazhab Malik dalam hal ini berkata, sesungguhnya setiap mujtahid adalah benar, mereka berpegang kepada dzahir dari kalam Nabi yang dinukil oleh orang-orang terdahulu. Dikatakan dari Abu Hanifah bahwa kebenaran itu semuanya satu ada di sisi Allah. Sesungguhnya orang yang bersalah atau melakukan kesalahan itu berdosa, dan hukum berbeda dengan itu. Sedangkan mazhab Asy’ariyah dan lain sebagainya, berpegang kepada sabda Nabi, apabila seorang hakim berijtihad namun benar, baginya dua pahala, namun apabila ia berijtihad namun salah, baginya satu pahala. Pembicaraan tentang perbedaan mereka adalah tarjih yang shahih (memilih yang baik dari yang sakit).

Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum mukallaf. Maka ushul-fiqih dan jidal terpulang kepada dua hal. Yang dimaksud semua itu untuk membenarkan sabdanya, dan membatalkan perkataan Sahabat. Definisi al-Bayan adalah mengeluarkan sesuatu dari yang bermasalah kepada yang jelas, dan penelitian digunakan dari sisi hati saja dalam meilhat yang diteliti. Dalil adalah sesuatu petunjuk kepada yang dituntut. Diantara manusia ada yang berkata, dalil tidak dapat digunakan kecuali sesuatu yang mesti ada ilmu seperti ushul dan sesuatu yang mesti ada ilmu tidak disebut dalil tapi disebut amaroh (tanda-tanda). Petunjuk adalah perbuatan yang memberi petunjuk, dan yang memberi petunjuk adalah dalil, diantara manusia ada yang berkata bahwa petunjuk itu adalah yang menunjuk kepada dalil, sedangkan yang ditunjuk ialah sesuatu yang dituntut oleh dalil dari ushul, dan dari yang ditunjuki oleh hukum. Yang ditunjuki oleh hukum berada di atas hukum karena dalil menuntutnya dan meletakkan masalah-masalah, karena dalil menuntut itu juga. Hujjah adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh kebenaran tuduhan. Satu pendapat menyatakan, dia sama dengan dalil. Nash adalah lafad yang tidak punya makna lain kecuali satu makna. Menurut pendapat lain, lafad adalah sesuatu yang menerima takwil. Takwil adalah memalingkan pembicaraan dari yang dzahir kepada sisi yang memungkinkannya. Dzahir adalah sesuatu yang dikandung oleh dua masalah yang salah satunya lebih kuat daripada yang lain. Al-Umum adalah sesuatu yang mengandung dua masalah yang salah satuny tidak menambah yang lain. Mujmal adalah sesuatu yang tidak masuk akal, maknanya dari lafadnya, hingga dikembalikan kepada sesuatu yang menafsirkannya. Al-Mufasar adalah sesuatu yang dipahami dari kehendak lafad. al-Muhkam digunakan di dalam mufasar saja, sebagaimana yang telah kami sebutkan dahulu. Dia digunakan terhadap sesuatu yang tidak dimansukh saja, namun sesuatu yang dikuatkannya. Al-Mutasyabih adalah permasalahan yang membutuhkan pemikiran dan pengkajian, al-Mutlaq adalah lafad yang dibatasi oleh sebagian sifatnya. Takhsis, membedakan sebagian jumlah. Takhsis al-Umum, yaitu mengeluarkan sebagian yang dikandung oleh lafad yang umum. Nasakh adalah menjelaskan selesainya masa ibadah yang dzahirnya secara mutlak dan kuat. Menurut sebagian pendapat, nasakh adalah menjelaskan sesuatu yang tidak kehendaki oleh lafad yang umum pada suatu zaman. Dalil Khitab adalah menafikan hukum yang disangkakan dari selainnya, diantara khitab sesuatu pengetahuan dari lafad yang diperoleh melalui pendengaran bukan melalui pembicaraan. menurut satu pendapat, dia adalah dlamir yang tidak sempurna sebuah pembicaraan kecuali dengannya. Fahwa Khitab adalah sesuatu yang dijelaskan oleh lafad dengan maknanya. Haqiqat digunakan untuk menjelaskan sesuatu itu sendiri yang kadang telah jelas dari awal al-Kitab dan digunakan untuk menunjukkan lawan kata al-majaz. Al-majaz adalah setiap lafad yang merupakan kiasan dari objeknya. Amr adalah permohonan melakukan perbuatan dengan perkataan dari orang selainnya dari sisi kewajiban. Wajib adalah sesuatu yang berkaitan dengan siksa karena meninggalkannya menurut mazhab Maliki. Fardlu, wajib, dan makhtum mempunyai makna yang satu dalam mazhab Maliki, penjelasannya telah kami jelaskan terdahulu. Sahabat-sahabat Abu Hanifah berkata tentang ini, fardlu adalah sesuatu yang ditetapkan kewajibannya dengan dalil yang pasti, sedang wajib adalah sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil seorang mujtahid, mandub ilaih adalah sesuatu yang ditetapkan untuk melaksanakannya dan tidak disiksa karena meninggalkannya, sunnah adalah sesuatu yang digambarkan untuk melaksanakan dengan jalan istihbab. Ibadah adalah ketaatan kepada Allah SWT. Sebagian sahabat Abu Hanifah mengatakan bahwa ibadah adalah sesuatu yang membutuhkan niat sebagaiman telah kami jelaskan. Dan ketaatan adalah sesuai dengan perintah, sedangkan maksiat bertentangan dengan perintah. Ibahah adalah adanya diperbolehkan, mubah adalah sesuatu yang diizinkan untuk dilaksanakan tanpa pahala dan tidak berdosa bila meninggalkannya. Al-hasan  adalah sesuatu yang terpuji orang yang melaksanakannya sedangkan al-Qubhu adalah orang yang tercela melaksanakannya. Al-Dzulm adalah melampaui batas, al-Jur adalah berpaling dari kebenaran, al-Jaiz digunakan terhadap sesuatu yang tidak berdosa saja, dan juga sejalan dengan syara’.
Fasid adalah orang yang tidak sengaja melanggar syaratnya. Syarat adalah sesuatu yang tidak adanya hukum karena tidak adanya dia. Sebab adalah sesuatu yang menyampaikan kepada hukum. Khabar adalah sesuatu yang bisa masuk benar dan dusta. Benar adalah setiap khabar yang khabar itu sesuai dengan yang diberitakan. Tawattur atau mutawattir adalah sesuatu ilmu yang diketahui dari pembawa berita secara pasti dan dinukil pada setiap kelompok dari setiap jenis pada jumlah yang sama. Mursal adalah terputusnya sanad. Muttashil adalah tersambungnya sanad. Ijma’ adalah kesepakatan ‘Ulama satu masa tehadap hukum yang baru. Sahabat adalah orang yang bersahabat dengan Rasul. Tabi’in adalah orang yang bersahabat dengan sahabat. Taqlid adalah mengambil pendapat tanpa dalil dan hujjah. Ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan mujtahid untuk sampai kepada tujuan. Ra’yu adalah mengeluarkan kebenaran yang pasti. Qiyas adalah menyamakan sesuatu berdasarkan sebabnya dan memberlakukan hukum yang asal terhadap furu’. Al-Ashl adalah menetapkan hukum berdasarkan dirinya sendiri. Menurut Mutakallimin, al-Ashl adalah lafad yang datang untuk menetapkan hukum. Al-Far’u adalah sesuatu yang menetapka hukumnya berdasarkan yang lainnya. Illat adalah makna yang menunjukkan adanya hukum. Illat al-Muta’addiyah adalah sesuatu yang ada di far’u. illat al-wafiqah adalah sesuatu yang tidak ditunjukkan kepada al-far’u. al-Ma’lul adalah hukum itu sendiri. Diantara sahabat kami ada yang berkata, hukum adalah ‘ain atau hukum itu sendiri yang dijelaskan oleh ‘illat seperti khamr dan bir. al-Mu’tal adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh ‘illat dan mu’allil adalah al-mu’tal. Al-thard adalah adanya hukum karena hilangnya ‘illat. Dan mu’aridlah adalah menolak satu dari dua yang bertikai terhadap yang lain seperti dalilnya dan itu dicari yang terkuat. Tarjih adalah memilih untuk mencari yang terkuat dari dua dalil atas yang lain. Inqita’ adalah melemahkan sampai kepada tujuan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar