Jumat, 17 Februari 2012

MANHAJ PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM


MANHAJ PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM

A. Asumsi Dasar Pengembangan Pemikiran Islam
Pemikiran keislaman dibangun dan dikembangkan beradasarkan anggapan dasar atau paradigma tertentu. Di atas asumsi inilah berbagai perspektif dan metodologi pemikiran keislaman ditegakkan. Demikian pula asumsi dasar penting bagi Muhammadiyah sebagai fondasi bagi pengembangan pemikiran keislaman untuk praksis sosial. Karena itu, pembahasan asumsi mengenai hakikat pandangan keagamaan – posisi Islam dan pemikiran Islam, sumber, fungsi dan metodologi pemikiran Islam – sangat signifikan untuk menentukan cara kerja epistemologi pemikiran keislaman, baik pendekatan maupun metode yang dipergunakan.
Posisi Islam dan Pemikiran Islam. Membedakan antara Islam dan Pemikiran Islam sangat penting di sini. Pemikiran Islam bukanlah wilayah yang terbebas dari intervensi historisitas (kepentingan) kemanusiaan. Kita mengenal perubahan dalam pemikiran Islam sejalan dengan perbedaan ruang dan waktu. Pemikiran Islam tidak bercita-cita untuk mencampuri nash-nash wahyu yang tidak berubah (al-nush−sh al-mutan±hiyah) melalui tindakan pengubahan baik penambahan dan pengurangan atau bahkan penghapusan. Bagaimanapun kita sepakat bahwa Islam (obyektif) sebagai wahyu adalah petunjuk universal bagi umat manusia. Pemikiran Islam juga tidak diarahkan untuk mengkaji Islam subyektif yang ada dalam kesadaran atau keimanan setiap para pemeluknya. Karena dalam wilayah ini, Allah



secara jelas menyatakan kebebasan bagi manusia untuk iman atau kufur, untuk Muslim atau bukan (freedom of religion; QS. al-Baqarah: 256; al-K±fir−n: 1-6). Pemikiran Islam lebih diarahkan untuk mengkaji dan menelaah persoalan-persoalan dalam realitas keseharian umat Muslim yang “lekang dan lapuk oleh ruang dan waktu” (al-waq±‘i’ ghairu mutan±hiyah).
Dengan meletakkan Islam dalam al-tajd³d wa al-ibtik±r, setiap Muslim tidak perlu lagi khawatir bahwa pembaharuan ekspresi, interpretasi dan pemaknaan Islam yang ditawarkan kepada komunitas dalam locus dan tempus tertentu, tidak memiliki pretensi untuk mengganggu apalagi merusak Islam sebagai wahyu ataupun keimanan secara langsung ataupun tidak. At-tajd³d wa al-ibtik±r merupakan program pembaharuan terencana dan terstruktur yang diletakkan di atas bangunan refleksi normativitas dan historisitas dan aplikasinya pada realitas kehidupan nyata Islam dalam konteks sosial-kemasyarakatan dalam arti luas. Dengan program ini pula dimaksudkan agar Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘±lam³n; sebuah proses menafsirkan universalitas Islam melalui kemampuan membumikannya pada wilayah-wilayah partikularitas dengan segala keunikannya. Ini berarti pula bahwa pemikiran Islam menerima kontribusi dari semua lapisan baik dalam masyarakat Muslim (insider) maupun non-Muslim (outsider)
Sumber Pemikiran Islam. Setiap disiplin keilmuan dibangun dan dikembangkan melalui kajian-kajian atas sumber pengetahuannya. Islam sebagai ad-d³n memiliki dua sumber tak tergugat, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara itu, pemikiran Islam memiliki tiga sumber pengetahuan; teks, ilham atau intuisi dan realitas. Yang dimaksudkan teks di sini adalah meliputi teks-teks keagamaan baik al-Qur’an dan as-Sunnah maupun teks-teks hasil interpretasi dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah penemuan rahasia pengetahuan melalui iktisy±f. Dan yang terakhir adalah realitas yang mencakup realitas kealaman dan realitas kemanusiaan.
Fungsi Pemikiran Islam. Pemikiran Islam dibangun dan dikembangkan untuk mendukung universalitas Islam sebagai petunjuk bagi manusia menuju kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual lebih berkaitan



dengan persoalan-persoalan, praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kesalehan sosial berhubungan erat dengan masalah-masalah moralitas publik (public morality). Dalam wilayah kesalehan individual, pemikiran Islam berupaya memberikan kontribusi berupa petunjuk-petunjuk praktis keagamaan (religious practical guidance), ibadah mahdah dan masalah-masalah yang menyangkut moralitas pribadi (private morality). Sedangkan dalam wilayah kesalehan sosial, pemikiran Islam merespon wacana kontemporer, seperti masalah sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial ekonomi, globalisasi dan lokalisasi, iptek, lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika serta bioteknologi, isu-isu keadilan hukum, ekonomi, demokratisasi, HAM, civil society, kekerasan sosial dan agama, gender, dan pluralisme agama, sekaligus merumuskan dan melaksanakan terapannya dalam praksis sosial.
Metodologi Pemikiran Islam. Dalam Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhb±r³ dan kebenaran nazhar³. Yang pertama adalah kebenaran wahyu yang datang langsung dari Allah. Karena itu bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah kebenaran yang diperoleh secara ta‘aqquli. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam ruang hampa. Nash-nash atau teks wahyu yang diinterpretasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun audiensnya. Ada rentang waktu – dulu, kini, mendatang -- di hadapan ketiga pihak di atas. Inilah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle); suatu perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci (an-nushush al-mutan±hiyah) yang dipandu oleh perubahan-perubahan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat. Dalam konteks yang terus berubah ini, kebutuhan akan cara pembacaan baru atas teks-teks dan realitas itu menjadi tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran hermeneutis semacam ini, Muslim tidak perlu mengulang-ulang tradisi lama (tur±ts) yang memang sudah usang untuk kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi juga bukan berarti menerima apa adanya modernitas (hadatsah). Kewajiban Muslim



adalah melakukan pembacaan atas teks-teks wahyu dan realitas itu secara produktif (al-Qir±’ah al-Muntijah, bukan al-Qir±’ah al-Mutakarrirah).
Dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan perkembangan, kontinuitas dan perubahan (ats-tsab±t wa at-taghayyur) dalam realitas kontemporer, perlu diupayakan perubahan paradigma. Perubahan paradigma tidak berarti bahwa semua tradisi ditinggalkan, tetapi patut dipahami sebagai upaya modifikasi tradisi pemikiran Islam dalam ukuran tertentu sesuai dengan problem sosial yang ada; dan atau merubah secara total tradisi dengan sesuatu yang sama sekali baru. Yang pertama dalam rangka menjaga kontinuitas dalam pemikiran keislaman atau melakukan pengembangan, sementara yang kedua adalah untuk memproduksi pemikiran keislaman yang sama sekali baru. Perubahan paradigma mengandaikan metodologi – pendekatan dan metode – baru untuk merespon problem-problem di atas sekaligus aplikasinya dalam praksis sosial. Dengan demikian, pemikiran Islam berpegang pada adagium al-muh±fazhatu ‘ala al-qad³m ash-sh±li¥ ma‘a al-akhdz bi al-jad³d al-ashla¥.
Dengan rekayasa epistemologis semacam ini, terbuka kesempatan bagi munculnya wacana keislaman dalam Muhammadiyah dengan karakteristik antara lain: produktif atau bukan sekedar pengulangan tradisi lama untuk memecahkan masalah baru; fleksibel dalam arti pemikiran keislaman termodifikasi secara luwes, tidak kaku dan terbuka atas kritik dan pengembangan; imaginatif dalam arti membuka horizon pemahaman dan pendalaman baru melalui iktisy±f; kreatif dalam melahirkan wilayah-wilayah baru (yang selama ini “tak terpikirkan” dan “belum terpikirkan”) untuk dipikirkan; dan akibatnya wacana keislaman kontemporer benar-benar berada dalam pergumulan sejarah yang efektif (effective history) dan tidak ahistoris.
B. Prinsip Pengembangan Pemikiran Islam
Manhaj pengembangan pemikiran Islam ini dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu:



1. Prinsip al-mur±‘±h (konservasi) yaitu upaya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. Pelestarian ini dapat dilakukan dengan cara pemurnian (purification) ajaran Islam. Ruang lingkup pelestarian adalah bidang aqidah dan ibadah mahdhah.
2. Prinsip at-tahditsi (inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual masyarakat Islam sesuai dengan perkembangan sosialnya. Penyempurnaan ini dilakukan dengan cara reaktualisasi, reinterpretasi, dan revitalisasi ajaran Islam.
3. Prinsip al-ibd±‘³ (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstruktif dalam menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini dilakukan dengan cara menerima nilai-nilai luar Islam dengan penyesuaian seperlunya (adaptatif). Atau dengan penyerapan nilai dan elemen luaran dengan penyaringan secukupnya (selektif).

C. Kerangka Metodologi Pengembangan Pemikiran Islam
Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan bay±n³, ‘irf±n³ dan burh±n³, sesuai dengan obyek kajiannya – apakah teks, ilham atau realitas -- berikut seluruh masalah yang menyangkut aspek transhistoris, transkultural dan transreligius. Pemikiran Islam Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.

1. Pendekatan Bay±n³
Pendekatan Bay±n³ sudah lama dipergunakan oleh para fuqah±’, mutakallim−n dan ush−liyy−n. Bay±n³ adalah pendekatan untuk: a) memahami dan atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafzh, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zh±hir dari lafzh dan ‘ib±rah yang zh±hir



pula; dan b) istinb±th hukum-hukum dari an-nush−sh ad-d³niyyah dan al-Qur’an khususnya.
Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafzh. Hubungan antara makna dan lafzh dapat dilihat dari segi: a) makna wadl‘³, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna kh±shsh, ‘±mm dan musytarak; b) makna isti‘m±l³, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna haq³qah (shar³hah dan mukniyah) dan makna maj±z (shar³h dan kin±yah); c) darajat al-wudl−h, sifat dan kualitas lafzh, meliputi muhkam, mufassar, nash, zh±hir, khaf³,musykil, mujmal dan mutasy±bih; dan d) thuruq al-dal±lah, penunjukan lafzh terhadap makna, meliputi dal±lah al-‘ib±rah, dal±lah al-isy±rah, dal±lah al-nash dan dal±lah al-iqtidl±’ (menurut Hanafiyah), atau dal±lah al-manzh−m dan dal±lah al-mafh−m baik mafh−m al-muw±faqah maupun mafh−m al-mukh±lafah (menurut Syafi‘iyah).
Untuk itu, pendekatan bay±n³ mempergunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asb±b al-nuz−l, dan istinb±th atau istidl±l sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kunci (keywords) yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi ashl – far‘, lafzh – ma’n± (manth−q al-lughah dan musykilah al-dal±lah; dan nizh±m al-khith±b dan nizh±m al-‘aql), khabar-qiy±s, dan otoritas salaf (sulthah al-salaf). Dalam al-qiy±s al-bay±n³, kita dapat membedakannya menjadi tiga macam: 1) al-qiy±s berdasarkan ukuran kepantasan antara ashl dan far‘ bagi hukum tertentu; yang meliputi a) al-qiy±s al-jal³; b) al-qiy±s fi ma‘n± al-nash; dan c) al-qiy±s al-khaf³; 2) al-qiy±s berdasarkan ‘illat terbagi menjadi: a) qiy±s al-‘illat; dan b) qiy±s al-dal±lah; dan 3) al-qiy±s al-j±mi‘ terhadap ashl dan far‘.
Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bay±n: 1) Bay±n al-I‘tib±r, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi: a) al-qiy±s al-bay±n³ baik al-fiqhy, al-nahwy dan al-kal±my; dan b) al-khabar yang bersifat yaq³n maupun tashd³q; 2) Bay±n al-I‘tiq±d, yaitu penjelasan mengenai makna segala sesuatu yang meliputi makna haqq, makna mutasy±bih f³h, dan



makna b±thil; 3) Bay±n al-‘Ib±rah yang terdiri dari: a) al-bay±n al-zh±hir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bay±n al-b±thin yang membutuhkan tafsir, qiy±s, istidl±l dan khabar; dan 4) Bay±n al-Kit±b, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari k±tib khat, k±tib lafzh, k±tib ‘aqd, k±tib hukm, dan k±tib tadb³r.
Dalam pendekatan Bay±n³, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi.
2. Pendekatan Burh±n³
Burh±n adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-hukum logika. Burh±n³ atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bahtsiyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (t±r³khiyyah), realitas sosial (ijtim±‘iyyah) dan realitas budaya (tsaq±fiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maq−l±t (kategori-kategori) meliputi kully-juz‘iy, jauhar-aradl, ma‘q−l±t-alf±zh sebagai kata kunci untuk analisis.
Karena burh±n³ menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ‘ilm al-lis±n dan ‘ilm al-manthiq. Yang pertama membicarakan lafzh-lafzh, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafzh al-dal±lah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafzh tersebut. Sedangkan yang terakhir membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap di antara segala sesuatu tersebut, atau apa yang



mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya. ‘Ilm al-manthiq juga merupakan alat (man±hij al-adillah) yang menyampaikan kita pada pengetahuan tentang mauj−d baik yang w±jib atau mumkin, dan mauj−d fi al-adzh±n (rasionalisme) atau mauj−d fi al-a‘y±n (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; manthiq mafh−m (mabhats al-tashawwur), manthiq al-hukm (mabhats al-qadh±y±), dan manthiq al-istidl±l (mabhats al-qiy±s). Dalam perkembangan modern, ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua, yaitu nazhariyyah al-hukm dan nazhariyyah al-istidl±l.
Dalam tradisi burh±n³ juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-−l± (metafisika) dan al-falsafat al-ts±niyyah. Falsafat al-−l± membahas hal-hal yang berkaitan dengan: wuj−d al-‘aradly, wuj−d al-jaw±hir (jaw±hir −l± atau asykh±sh dan jaw±hir ts±niyah atau al-naw‘), m±ddah dan sh−rah, dan asb±b yang terjadi pada a) m±ddah, sh−rah, f±‘il dan gh±yah; dan b) ittif±q (sebab-sebab yang berlaku pada alam semesta) dan hazhzh (sebab-sebab yang berlaku pada manusia). Sedangkan falsafat al-ts±niyah atau disebut juga ‘ilm al-thab³‘ah, mengkaji masalah: 1) hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada alam semesta (as-sunnah al-‘±lamiyyah) maupun manusia (as-sunnah al-ins±niyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azal³ (harakah qad³mah) maupun gerak mauj−d (harakah h±ditsah) yang bersifat plural (mutanawwi’ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau berkurang), perubahan (istih±lah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-−l± (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social sciences, al-‘ul−m al-ijtim±‘iyyah) dan humaniora (humanities, al-‘ul−m al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi, pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.



Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (susiuluji), antropologi (antrubuluji), kebudayaan (tsaq±fi) dan sejarah (t±r³khi), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu perilaku keberagamaan dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan rekacipta masyarakat utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan rekacipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan rekacipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (tsaq±fi) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajaran, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Muslim. Agar upaya rekacipta masyarakat Muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini juga menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah (t±r³khi). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ini bermanfaat agar upaya pembaharuan pemikiran Islam Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis. Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Oleh karena itu, dalam burh±n³, keempat pendekatan – t±r³khi, susiuluji, tsaq±fi dan antrubuluji – berada dalam posisi yang saling berhubungan secara dialektik dan saling melengkapi membentuk jaringan keilmuan.
3. Pendekatan ‘Irf±n³
‘Irf±n mengandung beberapa pengertian antara lain; ‘ilm atau ma‘rifah; metode ilham dan kasyf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghun−s



atau gnosis. Ketika ‘irf±n diadopsi kedalam Islam, para ahl al-‘irf±n mempermudahnya menjadi: pembicaraan mengenai 1) al-naql dan al-tawzh³f; dan 2) upaya menyingkap wacana qur’ani dan memperluas ‘ib±rahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan ‘irf±n³ adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutashawwif³n dan ‘±rif³n untuk mengeluarkan makna b±thin dari b±thin lafzh dan ‘ib±rah; ia juga merupakan istinb±th al-ma’±rif al-qalbiyyah dari al-Qur’an.
Pendekatan ‘irf±n³ adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijd±n, bash³rah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kasyf³ dan manhaj iktisy±f³. Manhaj kasyf³ disebut juga manhaj ma‘rifah ‘irf±n³ yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kasyf dengan riy±dlah dan muj±hadah. Manhaj iktisy±f³ disebut juga al-mum±tsilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup: a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti ½ = 2/4 = 4/8, dst; b) tamts³l yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) sh−rah dan asyk±l. Dengan demikian, al-mum±tsilah adalah manhaj iktisy±f³ dan bukan manhaj kasyf³. Pendekatan ‘irf±n³ juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum ‘irf±niyy³n tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haq³qah yang terletak di balik syar³‘ah, dan yang b±thin (al-dal±lah al-isy±rah aw al-ramziyyah) di balik yang zh±hir (al-dal±lah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam ‘irf±n³ mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’w³l).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan ‘irf±n³ meliputi tanz³l- ta’w³l, haq³q³-maj±z³, mum±tsilah dan zh±hir-b±thin. Hubungan zh±hir-b±thin terbagi menjadi 3 segi: 1) siy±s³ mub±syar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafzh kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran



metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-muta‘±liyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan ‘irf±n³ banyak dimanfaatkan dalam ta’w³l. Ta’w³l ‘irf±n³ terhadap al-Qur’an bukan merupakan istinb±th, bukan ilham, bukan pula kasyf. Tetapi ia merupakan upaya mendekati lafzh-lafzh al-Qur’an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan ‘irf±n³ yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkret dari pendekatan ‘irf±n³ lainnya adalah Falsafah Ishr±q³ yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-bahtsiyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dzawqiyyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haq³qah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Quran merupakan contoh konkret dari pengetahuan ‘irf±n³. Namun, dengan keyakinan yang kita pegangi selama ini, mungkin pengetahuan ‘irf±n³ yang akan dikembangkan dalam kerangka ittib±‘ al-rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan ‘irf±n³ bersifat subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima “pengalaman”. Selanjutnya tahap pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik dimana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan ‘irf±n³ dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya



pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk didalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fithrah il±hiyyah.

BAB V
OPERASIONALISASI

Tiga pendekatan di atas adalah warisan yang tak ternilai harganya dalam pemikiran Islam. Dan ketiga pendekatan ini pula hingga kini masih banyak dipergunakan para pengkaji di kalangan Muslim sendiri, dan sebagian non-Muslim. Ada perkembangan cukup menarik dalam sejarah pemikiran Islam, di mana terdapat upaya-upaya sejumlah sarjana Muslim dari berbagai kalangan untuk mengupayakan adanya proses pemaduan pemahaman. Mereka melihat ada peluang dan kemungkinan-kemungkinan untuk menghubungkan ketiga pendekatan ini untuk memahami Islam. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa berupa saling memberi dan menerima antar pendekatan (al-akhdzu wa al-‘itha‘ bain al-man±hij), kesinambungan (al-ittish±l), saling mempengaruhi (al-ihtik±k), dan bahkan saling bertabrakan atau kontradiksi (al-itid±m). Sebagaimana yang dipahami, dalam pemikiran Islam klasik dan pertengahan wilayah pemikiran keislaman hanya bertumpu pada wilayah kalam, falsafah, tasawuf, dan hukum. Wilayah dan kategorisasi problem dalam pemikiran Islam kontemporer tidak hanya meliputi empat wilayah di atas tetapi jauh lebih kompleks. Kompleksitas itu tercermin pada wilayah historisitas praktik-praktik sosial keislaman serta tekanan pada nilai-nilai pada wilayah etik dan moralitas (akhlak). Oleh karena itu, pemikiran Islam kontemporer perlu memahami semua realitas persoalan


s
keislaman kontemporer dalam rangka mengantisipasi gerak perubahan jaman era industrialisasi dan globalisasi budaya dan agama.
Pembaharuan dan pengembangan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah meliputi persoalan sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, sains dan teknologi, lingkungan hidup, etika dan rekayasan genetika dan bioteknologi, serta isu-isu yang berkaitan dengan masalah keadilan dalam bidang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, hubungan pria dan wanita dalam Islam, civil society, agama dan kekerasan sosial, spiritualitas keagamaan, penguatan kesadaran moralitas publik, pemecahan KKN, dialog dan hubungan antar agama, integrasi dan disintegrasi nasional, kepekaan pluralisme keagamaan dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dan lain-lain.
Apabila peta wilayah pengembangan pemikiran keislaman kontemporer seperti di atas, lalu bagaimana bentuk sesungguhnya hubungan antara ketiga pendekatan, yaitu antara Bayani, Burhani dan Irfani ? Setelah diperoleh pemahaman kerangka metodologis di atas, langkah penting lain yang tidak kalah nilai strategisnya adalah penentuan bentuk hubungan antara ketiganya. Ketepatan dan kekeliruan penentuan pola hubungan antara ketiganya menentukan hasil yang akan dicapai. Ada tiga jenis hubungan antara ketiganya, yaitu paralel, linear, dan spiral.
Jika bentuk hubungan antara ketiganya dipilih dalam bentuk paralel, di mana masing-masing ketiga pendekatan berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada hubungan antara satu pendekatan dengan pendekatan yang lain, maka nilai manfaat praktis dan kegunaan pengembangan keilmuan yang akan diraih juga akan minim sekali. Bentuk hubungan paralel, mengasumsikan bahwa dalam diri seorang Muslim terdapat tiga jenis metodologi keilmuan agama Islam sekaligus, tetapi masing-masing metodologi berdiri sendiri dan tidak saling berdialog dan berkomunikasi. Tergantung pada situasi dan kondisi. Jika ia berada pada wilayah bayani, ia gunakan pendekatan bayani sepenuhnya dan tidak “berani” memberi masukan dari hasil temuan dari pendekatan metodologi keilmuan keislaman yang lain. Meskipun begitu, seminim-minimnya hasil yang diperoleh dari model



hubungan yang bersifat paralel ini, masih jauh lebih baik daripada hanya hasil dari salah satu metodologi dan tidak mengenal jenis metodologi yang lain.
Sedangkan hubungan linear, pada ujung-ujungnya adalah “kebuntuan” karena tidak memberi ruang bagi yang lain. Pola pendekatan linear akan mengasumsikan bahwa salah satu dari ketiga metodologi tersebut akan menjadi primadona. Seorang Muslim akan menepikan masukan yang diberikan/disumbangkan oleh metodologi yang lain, karena ia telah terlanjur menyukai salah satu dari ketiga pendekatan yang ada. Pendekatan yang ia pilih dianggap sebagai suatu pendekatan yang ideal dan final. Jenis pilihan semacam ini pada gilirannya, akan mengantarkan seorang pada “kebuntuan”. Dogma keilmuan dimana tradisi berfikir, bayani tidak mengenal tradisi berfikir burhani atau irfani dan begitu sebaliknya.
Keduanya -- baik yang paralel maupun yang linear -- bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance (petunjuk) untuk umat Islam era kontemporer. Pendekatan paralel tidak dapat membuka wawasan dan gagasan-gagasan baru. Masing-masing pendekatan macet, terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri, dan itulah apa yang disebut “truth claim” (klaim kebenaran, atau monopoli kebenaran). Sedang pendekatan linear -- yang mengasumsikan adanya finalitas -- akan menjebak seseorang atau kelompok pada situasi-situasi eksklusif-polemis. Pendekatan pemikiran keislaman kontemporer, baru dapat mengantarkan seorang Muslim pada pemilihan antara salah satu dari kedua pendekatan keilmuan di atas. Kedua pilihan tersebut, masing-masing kurang kondusif untuk menghantarkan “kematangan religiusitas” seseorang, apalagi kelompok. Untuk itu perlu dilengkapi dengan pola hubungan antara ketiga metodologi yang ada yang lebih memberi kemungkinan dirumuskan angin segar dilingkungan komunitas Muhammadiyah.
Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang bersifat spiral, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran keislaman sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia



memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan, yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dan kritik dari jenis pendekatan dari luar dirinya, baik itu masukan dari pendekatan bayani, burhani maupun irfani. Corak hubungan yang bersifat spiral, tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusifitas, lantaran finalitas -- untuk kasus-kasus tertentu -- hanya mengantarkan seseorang dan kelompok Muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama Muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new possibilities (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keislaman kontemporer.
BAB VI
PENUTUP
1. Hasil Rumusan Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah ini bersifat toleran dan terbuka. Toleran yang berarti Muhammadiyah tidak menganggap pendapat yang berbeda dengan putusan pemikiran Muhammadiyah sebagai pendapat yang salah. Terbuka, berarti Muhammadiyah menerima kritik konstruktif terhadap hasil rumusan pengembangan pemikirannya asal argumentasinya didasarkan pada dalil yang lebih kuat dan argumentasi yang lebih akurat.
2. Segala keputusan Majelis Tarjih yang berkaitan dengan manhaj istidlal sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini tetap berlaku.





Amanat


Amanat


عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ  (رواه البخاري)

Dari Atho bin Yasar dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulallah bersabda: Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya.  Bagaimana menyia-nyiakan amanat ya Rasulallah? Rasulallah saw menjawab: Apabila urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. (HR Bukhori)

عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ سَمِعْتُ حُذَيْفَةَ يَقُولُ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْأَمَانَةَ نَزَلَتْ مِنْ السَّمَاءِ فِي جَذْرِ قُلُوبِ الرِّجَالِ وَنَزَلَ الْقُرْآنُ فَقَرَءُوا الْقُرْآنَ وَعَلِمُوا مِنْ السُّنَّةِ (رواه البخاري)

Dari Zaid binWahab aku mendengar Hudzaifah berkata, Rasulallah saw menceritakan kepada kami bahwa amanat turun dari langit kedalam pangkal hati seseorang. Dan al Qur’an turun, lalu mereka membaca al Qur’an dan mereka mengetahui dari sunnah. (HR Bukhori)

عَنْ عُمَرَ بْنِ حَمْزَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْأَمَانَةِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا (رواه مسلم)

Dari Umar bin Hamzah dari Abdurrahan bin Sa’ad berkata, aku mendengar Abu Said al Khidri berkata, Rasulallah saw bersabda: Sesungguhnya diantara kebesaran amanat  disisi Allah  pada hari kiamat adalah seseorang laki-laki yang menyerahkan rahasia kepada istrinya dan isterinya menyerahkan kepada suaminya, kemudian  suami  menyebarkan rahasia istrinya itu.

عَنْ خُلَيْدٍ الْعَصَرِيِّ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسٌ مَنْ جَاءَ بِهِنَّ مَعَ إِيمَانٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مَنْ حَافَظَ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ عَلَى وُضُوئِهِنَّ وَرُكُوعِهِنَّ وَسُجُودِهِنَّ وَمَوَاقِيتِهِنَّ وَصَامَ رَمَضَانَ وَحَجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَأَعْطَى الزَّكَاةَ طَيِّبَةً بِهَا نَفْسُهُ وَأَدَّى الْأَمَانَةَ قَالُوا يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ وَمَا أَدَاءُ الْأَمَانَةِ قَالَ الْغُسْلُ مِنْ الْجَنَابَةِ (رواه ابو داود)

Dari Khulaid al Ashari dari Abu Darda’ berkata, Rasulallah saw bersabda: Ada lima hal siapa yang datang dengan lima hal itu dengan iman niscaya masuk surga,  orang yang memelihara shalat lima waktu dengan wudhunya,  sujudnya, waktu-waktunya, puasa ramadhan, haji ke baitullah jika mampu, memberikan zakat sebagai penyusi dirinya, menunaikan amanat. Mereka bertanya, ya Abu Darda’ apa yang dimaksud menunaikan amanat? Abu Darda’ menjawab: mandi dari junub.
                       
عَنْ شَرِيكٍ قَالَ ابْنُ الْعَلَاءِ وَقَيْسٌ عَنْ أَبِي حُصَيْنٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ   (رواه ابو داود)

Dari Syarik berkata Ibnu al Ala’ dari Abu Husain dari  Abi Soleh dari Abu Hurairah berkata, Rasulallah saw bersabda: Tunaikanlah amanat  kepada orang yang memberi amanat kepadamu dan jangan engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu. (HR Abu Daud)

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ حَدَّثَنِي طَلْحَةُ بْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنِي أَبُو أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَأَدَاءُ الْأَمَانَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهَا قُلْتُ وَمَا أَدَاءُ الْأَمَانَةِ قَالَ غُسْلُ الْجَنَابَةِ فَإِنَّ تَحْتَ كُلِّ شَعَرَةٍ جَنَابَةً

Hisyam bin Ammar menceritakan kepada kami, Yahya bin Hamzah menceritakan kepadaku, Uthbah bin Abu Hakim menceritakan kepadaku, Thalhah bin Nafi’ menceritakan kepadaku, Abu Ayub al Anshori menceritakan kepadaku bahwa Nabi saw bersabda:  shalat lima waktu, jum’at ke jum’at, menunaikan amanat adalah kaffarat  terhadap apa yang ada diantaranya. Aku bertanya, apakah menunaikan amanat itu? Beliau menjawab: Mandi janabat, karena dibawah setiap rambut adalah janabat.

 عَنْ سَعِيدِ بْنِ سِنَانٍ عَنْ أَبِي الزَّاهِرِيَّةِ عَنْ أَبِي شَجَرَةَ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سِنَانٍ عَنْ أَبِي الزَّاهِرِيَّةِ عَنْ أَبِي شَجَرَةَ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ (رواه ابو داود)

Dari Said bin Sinan dari Abu Dari Abu al Zahiriyah dari  Abu Syajarah Katsir bin Murrah dari Ibnu Umar bahwa nabi saw bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla apabila hendak membinasakan seorang hamba, akan dicabut darinya rasa malu, apabila malu telah dicabut darinya, tidak tinggal darinya kecuali kebencian yang saling membenci. Apabila tidak tinggal kecuali kebencian, dicabut darinya amanah. Apabila amanah telah dicabut tidak akan tinggal kecuali seorang pengkhianat yang mengkhianati, maka apabila tidak tinggal kecuali pengkhianat yang mengkhianati, dicabut darinya rasa kasih sayang, maka apabila dicabut rasa kasih sayang tidak akan tinggal darinya kecuali ketukan yang melaknat, maka apabila tidak tinggal kecuali ketukan yang melaknat dicabut darinya tali Islam. (HR Abu Daud)

عَنْ جَابِرِ بْنِ يَزِيدَ الْجُعْفِيِّ عَنْ عَامِرٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ الْجَزَّارِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَأَدَّى فِيهِ الْأَمَانَةَ وَلَمْ يُفْشِ عَلَيْهِ مَا يَكُونُ مِنْهُ عِنْدَ ذَلِكَ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ (رواه احمد)

Dari Jabir bin Yazid al Ju’fi dari Amir dari Yahya bin al Jazar dari Aisyah berkata, Rasulallah saw bersabda: siapa yang memandikan mayit, maka tunaikanlah amanat dan tidak dibuka rahasia yang ada padanya,  ketika itu telah keluar dosanya seperti hari dilahirkan oleh ibunya.

عَنْ شَرِيكٍ وَقَيْسٍ عَنْ أَبِى حَصِينٍ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ. (رواه الدارقطني)

Dari Syarik dan Qais dari Abu Hasin dari Abu Soleh dari Abu Hurairah, Rasulallah saw bersabda: Tunaikanlah amanat kepada orang yang telah memberi amanat kepadamu dan jangan engkau khianati orang yang mengkianatimu (HR Daruquthni)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا قَالَ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ

Dari Anas bin Malik berkata, Rasulallah saw tidak berkhutbah kepada kami melainkan dia bersabda: Tidak ada iman bagi orang yang tidak menunaikan amanat dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menunaikan janjinya.(HR Ahmad)

عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: لا إيمان لمن لا أمانة له ولا صلاة لمن لا طهور له ولا دين لمن لا صلاة له إنما موضع الصلاة من الدين كموضع الرأس من الجسد

Dari Ibnu Umar berkata, Rasulallah saw bersabda: Tidak ada iman  bagi orang yang tidak menunaikan amanat, tidak ada shalat bagi orang yang tidak bersuci, tidak ada agama bagi orang yang tidak shalat, sesungguhnya kedudukan shalat dalam agama seperti kedudukan kepala dari badan. (HR Tabrani)

عَنِ الْمُطَّلِبِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اضْمَنُوا لِي سِتًّا مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَضْمَنْ لَكُمْ الْجَنَّةَ اصْدُقُوا إِذَا حَدَّثْتُمْ وَأَوْفُوا إِذَا وَعَدْتُمْ وَأَدُّوا إِذَا اؤْتُمِنْتُمْ وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ  (رواه احمد)

Dari al Mutholib dari Ubadah bin al Shamit bahwa nabi saw bersabda: Jaminlah oleh
Kalian untukku enam hal dari dirimu, niscaya aku jamin untukmu surga. Jujurlah apabila berbicara, tunailahkan janji apabila engkau berjanji, tunaikanlah amanat apabila diberi amanat, jagalah kehormatanmu, tahanlah pandanganmu dan  tahanlah tanganmu.

عَنِ ابْنِ حُجَيْرَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنْ الدُّنْيَا حِفْظُ أَمَانَةٍ وَصِدْقُ حَدِيثٍ وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ وَعِفَّةٌ فِي طُهْرٍ  (رواه أحمد)

Dari Ibnu Hujairah  dari Abdullah bin Amer bahwa Rasulallah saw bersabda: Ada empat hal apabila ada padamu, maka tidak ada yang melalaikanmu dari dunia, yaitu memelihar amanat, jujur dalam berbicara, ahklak yang baik dan terpelihara dalam kesucian.

عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِتَّةَ أَيَّامٍ ثُمَّ اعْقِلْ يَا أَبَا ذَرٍّ مَا أَقُولُ لَكَ بَعْدُ فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ السَّابِعُ قَالَ أُوصِيكَ بِتَقْوَى اللَّهِ فِي سِرِّ أَمْرِكَ وَعَلَانِيَتِهِ وَإِذَا أَسَأْتَ فَأَحْسِنْ وَلَا تَسْأَلَنَّ أَحَدًا شَيْئًا وَإِنْ سَقَطَ سَوْطُكَ وَلَا تَقْبِضْ أَمَانَةً وَلَا تَقْضِ بَيْنَ اثْنَيْنِ (رواه أحمد)

Dari Abu al Haitsam dari Abu Dzar bahwa Rasulallah saw bersabda: Ada enam hari kemudian berpikirlah hai Abu Dzar apa yang aku katakana kepadamu tadi. Tatkala hari ketujuh beliau bersabda:  Aku berwasiat kepadamu hendaklah bertakwa kepada Allah dalam urusanmu yang sembunyi dan nyata, apabila engkau berbuat buruk, maka berbuat baiklah, dan janganlah kamu bertanya kepada seseorang  tentang sesuatu  dan jika jatuh cambukmu dan janganlah dan janganlah engkau genggam amanat dan jangan pula engkau putuskan antara dua  orang. (HR Ahmad)









Zuhud Pola Hidup Ideal

Zuhud Pola Hidup Ideal


وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَزْهَدُ فِي الدُّنْيَا فَادْنُوا مِنْهُ فَإِنَّهُ يُلَقَّى الْحِكْمَةَ.رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى المَوْصِلِيّ.

Dan dari Abdullah bin Abdullah bin Ja’far dari ayahnya berkata: Rasulallah saw bersabda: Apabila engkau melihat orang yang zuhud terhadap dunia, maka dekatilah dia, karena sesungguhnya dia akan melahirkan hikmah. (HR Abu Ya’la al Maushili)

عَنْ أَبِي عَلِيٍّ ، عَمْرِو بْنِ مَالِكٍ الْجَنْبِيِّ ، عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم  يَقُولُ :طُوبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الإِسْلاَمِ ، وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا ، وَقَنَعَ

Dari Abu Ali, Amr bin Malik al Janbini dari Fadholah bin Ubaid, sesungguhnya dia mendengar Rasulallah saw bersabda, beruntunglah orang yang diberi hidayah kepada Islam dan hidupnya cukup serta qona’ah. (HR Ahmad, Turmudji dan Nasa’i)

عَنْ سَهْلِ بْنِ سعد السَّاعِدِي رضي الله عنه قالَ : جاءَ رَجُلٌ إلى النبي صَلى الله عليهِ وسَلَّم فقالَ : يا رَسُولَ الله دُلَّنِي على عَمَلٍ إِذَا عَمِلْته أَحَبَّني الله وَأَحَبّنِي النَّاسُ ، فَقالَ : ازْهَدْ في الدُّنْيا يحِبَّكَ الله وازْهَد فِيما عِنْدَ النَّاسِ يحِبَّكَ النَّاسُ  حَديثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ ماجة وَغَيرُهُ بأَسانِيدَ حَسَنَةٍ .

Dari Sahl bin Sa’ad al Saidi ra berkata: Seorang laki-laki dating kepada Rasulallah saw seraya berkata: Ya Rasulallah tunjukkanlah kepadaku suatu amal apabila aku mengerjakannya, niscaya aku dicintai oleh Allah dan manusia?  Rasulallah saw bersabda: Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya engkau akan dicintai oleh manusia. (hadis hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad-sanad yang hasan)

عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ

Dari Sufyan al Tsauri dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’ad al Saidi berkata, seorang lelaki mendatangi nabi saw  dan berkata, a Rasulallah saw  tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku mengerjakannya, niscaya aku dicintai oleh Allah dan manusia? Rasulallah saw menjawab: Berzuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau dicintai oleh Allah dan berzuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya engkau akan dicintai oleh manusia. (HR Ibnu Majah dengan sanad hasan)

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ فَرُّوخٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ مُزَاحِمٍ، قَالَ: أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ أَزْهَدُ النَّاسِ ؟ قَالَ: مَنْ لَمْ يَنْسَ الْقَبْرَ وَالْبِلَى، وَتَرَكَ فَضْلَ زِينَةِ الدُّنْيَا، وَآثرَ مَا بَقِيَ عَلَى مَا يُغْنِي، وَلَمْ يَعُدَّ غَدًا مِنْ أَيَّامِهِ، وَعَدَّ نَفْسَهُ فِي الْمَوْتَى

Dari Sulaiman bin Farukh, dari al Dhohak bin Muzahim berkata:  seorang lelaki mendatangi nabi dan bertanya, ya Rasulallah siapakah manusia yang paling zuhud? Rasulallah menjawab: orang yang paling zuhud adalah mereka yang tidak melupakan kubur dan cobaan, meninggalkan perhiasan dunia, mendahulukan yang  baqo (abadi) dari yang fana, tidak  mempersiapkan hari esoknya dan tidak mempersiapkan dirinya menyambut kematian.

ورد في الحديث عن الإمام جعفر الصادق عليه السلام: من ازداد في اللَّه علماً، وازداد للدنيا حباً، ازداد من اللَّه بعداً، وازداد اللَّه عليه غضباً

Diriwayatkan dalam hadis dari imam Ja’far al Shodiq; as: Siapa yang menambah ilmunya tentang Allah,  lalu bertambah kecintaannya kepada dunia, niscaya dia akan bertambah jauh dari Allah dan akan bertambah kemurkaan Allah kepadanya.

يروى عن رسول اللَّه صلى الله عليه وآله وسلمأنه قال: الزهد ليس بتحريم الحلال ولكن أن يكون بما في يدي اللَّه أوثق منه بما في يديه ويروى عن الإمام علي عليه السلام : ليس الزهد أن لا تملك الشيء ولكن الزهد أن لا يملكك الشيء

Diriwayatkan dari Rasulallah saw bersabda: Zuhud bukanlah mengharamkan yang halal, tetapi zuhud adalah apa yang ditangan Allah lebih diyakini daripada apa yang ditangannya. Dan diriwayatkan dari Imam Ali as : Zuhud bukanlah  engkau tidak memiliki sesuatu tetapi zuhud adalah engkau tidak dimiliki oleh sesuatu.

وعنه عليه السلام قال : من أخرجه الله تعالى من ذل المعصية إلى عز الطاعة، أغناه الله بلا مال ، وأعزه بلاعشيرة، وآنسه بلا أنيس . ومن خاف الله تعالى، أخاف الله منه كل شيء ، ومن لم يخف اللهّ، خَوَّفه الله من كل شيء . ومن رضي من الله تعالى باليسير من المعاش ، رضي الله منه باليسيرمن العمل ، ومن لم يستحي من طلب الحلال وقنع به ، خفّت مؤنته ، ونعم أهله

Dan darinya juga, siapa yang dikeluarkan oleh Allah dari kehinaan maksiat  menuju kemuliaan taat, niscaya Allah akan membuat dia kaya tanpa harta, dan Allah akan memuliakannya tanpa keluarga, Allah akan membuatnya senang tanpa kekasih. Siapa yng taat kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan segala sesuatu takut kepadanya. Siapa yang tidak takut kepada Allah, niscaya dia Allah akan membuat dia takut dari segala sesuatu. Siapa yang ridho dengan pemberian Allah yang sedikit, maka Allah ridho dengan amalnya yang sedikit. Siapa yang tidak malu mencari sesuatu yang halal, niscaya Allah akan mencukupkannya, diringankan tanggungannya dan diberikan keluarganya yang baik.

قال رسول الله صلى الله عليه وآلمه وسلم: ومن زهد في الدنيا أثبت الله الحكمة في قلبه، وأنطق بها لسانه، وبصره عيوب الدنيا داءها ودوآها،وأخرجه من الدنيا سالما إلى دار القرار

Rasulallah saw bersabda: Siapa yang zuhud terhadap dunia, niscaya Allah akan menetapkan (memasukkan) hikmah didalam hati, menajamkan pembicaraannya, diperlihatkan kepadanya aib dunia, penyakit dan obatnya dan dikeluarkan dari dunia  menuju negeri keabadian dengan selamat.

وقال صلى الله عليه وآله: الزهد في الدنيا قصر الامل، وشكر كل نعمة، والورع عن كل ما حرم الله

Dan Rasulallah saw bersabda: Zuhud adalah pendek angan-angan,  bersyukur terhadap semua nikmat dan wara’ dari semua yang diharamkan oleh Allah.


بعمل مثل الزهد في الدنيا، ولا تعبد الله تعالى بمثل أداء الفرائض. أما الزهد في الدنيا فقد جاء القرآن بالحث عليه، وتحبيبه إلى خلقه، ومدحه، والتنفير من ضده، وذم الرغبة في الدنيا. قال الله تعالى: {بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ، وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى} [الأعلى:16-17] ،وقال تعالى: {مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ} [النحل: 96] وقال تعالى: {اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلادِ} [الحديد:20] ،وقال تعالى: {قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى} [النساء:77] ،وقال تعالى: {وَلا تَمُدَّنَ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجاً مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا} [ طه: 131] وقال تعالى: {وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ} [آل عمران:185] ، والقرآن مليء بذلك.
جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ ، قال : قال النبي - صلى الله عليه وسلم - :
((لاَ يَزَالُ الدِّينُ قَائِمًا ، حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ ، أَوْ يَكُونَ عَلَيْكُمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً ، كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.)).
سبق في مسند جابر بن سمرة رضي الله عنه. أرقام (2115 و2116 و2117 و2118 و2119 و2120 و2121 و2122).

Zuhud adalah perangai para nabi

.

قال عليه السلام : سمعت رسول الله صلى الله عليه وآله يقول : إن أحدكم ليدع من حقوق أخيه شيئاً فيطالبه به يوم القيامة، فيقضى له عليه
وقال أمير المؤمنين عليه السلام : العفاف زينة الفقر، والشكر زينة الغنى، الصبر زينة البلاء، التواضع زينة الحسب ، الفصاحة زينة الكلام ، العدل زينة الإمارة، السكينة زينة العباد، الحفظ زينة الرواية، خفض الجناح زينة الحلم ، بذل المجهود زينة
Dari Ali as berkata, aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda : sesungguhnya seseorang diantaramu yang meninggalkan hak saudaranya tentang sesuatu, maka akan akan dituntut pada hari kiamat dan mesti dibayar.
____________
و قال عليه السّلام : لا يزهدنّك فى المعروف من لا يشكره لك ، فقد يشكرك عليه من لا يستمتع بشى ء منه ، و قد تدرك من شكر الشّاكر أكثر ممّا أضاع الكافر ، و اللّه يحبّ المحسنين . نبّه على ترك الزهد فى المعروف ، بثلاثة ضمائر ، صغرى الاوّل قوله : فقد يشكرك الى قوله ، منه . و صغرى الثّانى قوله : و قد ، الى قوله : الكافر . و نبّه على الصغرى الثالث ،
بقوله ، و اللّه يحبّ المحسنين . و تقدير الكبرى فى الاوّل و كلّ ما يشكرك عليه من لا يستمتع بشى ء منه فواجب ان لا يزهدك فيه من لا يشكر لك . و تقديرها فى الثانى ، و كلّ ما قد تدرك من شكر الشاكر فيه اكثر مما اضاعه الكافر فلا يجوز الزهد فيه ، و اراد :
كافر النعمة . و تقديرها فى الثالث و كل من أحبّه اللّه فواجب ان يفعل ما لأجله أحبّه و لا يزهد فيه .
و قال عليه السّلام : الزّهد كلّه بين كلمتين من القرآن : قال اللّه سبحانه .
[ 678 ]
( لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ ، وَ لاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ) 1 و من لم يأس على الماضى و لم يفرح بالآتى ، فقد أخذ الزّهد بطرفيه . اقول : الاعراض عن الدنيا : بترك الأسف عليها ، و الفرح بها فى قوّة خاصّة مركّبة تلزم الزهد عرّفه بها . و كنّى بأخذ الزهد بطرفيه عن استكماله بمبدئه و غايته .
عن الصادق )عليه السلام(، عن آبائه، عن أمير المؤمنين علي بن أبي الأمالي للطوسي ص : 542طالب )عليه السلام(، قال قال رسول الله )صلى الله عليه و آله( إن الله )تبارك و تعالى( خلق العقل من نور مخزون مكنون، في سابق علمه الذي لم يطلع عليه نبي مرسل و لا ملك مقرب، فجعل العلم نفسه، و الفهم روحه، و الزهد رأسه، و الحياء عينيه، و الحكمة لسانه، و الرأفة همه، و الرحمة قلبه، ثم حشاه و قواه بعشرة أشياء اليقين، و الإيمان، و التصديق، و السكينة، و الإخلاص، و الرفق، و العطية، و القناعة، و التسليم، و الشكر. ثم قال له أدبر، فأدبر، ثم قال له أقبل، فأقبل، ثم قال تكلم، فقال الحمد لله الذي ليس له ضد و لا ند، و لا شبه و لا شبيه، و لا كفؤ و لا عديل، و لا مثل و لا مثيل، الذي كل شي ء لعظمته خاضع ذليل. فقال الرب )تبارك و تعالى( و عزتي و جلالي، ما خلقت خلقا أحسن منك، و لا أطوع منك، و لا أرفع منك، و لا أشرف منك، و لا أعز منك، بك أوحد، و بك أحاسب، و بك أدعى، و بك أرتجى، و بك أتقى، و بك أخاف، و بك أحذر، و بك الذنب، و بك العقاب، فخر العقل عند ذلك ساجدا، و كان في سجوده ألف عام. فقال الرب )تبارك و تعالى( بعد ذلك ارفع رأسك، و سل تعط و اشفع تشفع، فرفع العقل رأسه فقال إلهي، أسألك أن تشفعني فيمن جعلتني فيه. فقال الله )تبارك و تعالى( للملائكة اشهدوا أني شفعته فيمن خلقته فيه.
الأمالي للطوسي ص : 20]543] مجلس يوم الجمعة السادس و العشرين من المحرم سنة سبع و خمسين و أربعمائة فيه بقية أحاديث أبي المفضل محمد بن عبد الله الشيباني.
وقال عليه السلام: الزهد كلمة بين كلمتين من
القرآن قال الله سبحانه " لكيلا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتاكم " (2) فلم
لم يأس على الماضي ولم يفرح بالآتي فقد أخذ الزهد بطرفيه (3). وقال عليه السلام:
أيها الناس الزهادة قصر الامل، والشكر عند النعم، والورع عند المحارم، فان عزب عنكم
ذلك فلا يغلب الحرام صبركم، ولا تنسوا عند النعم شكركم، فقد أعذر الله إليكم بحجج
سافرة ظاهرة، وكتب بارزة العذر واضحة (4). 36 - من خطبة له عليه السلام: في صفة
الزهاد: كانوا قوما من أهل الدنيا وليسوا من أهلها، فكانوا فيها كمن ليس منها،
عملوا فيها بما يبصرون، وبادروا فيها ما يحذرون، تقلب أبدانهم بين ظهراني أهل
الآخرة، يرون أهل الدنيا يعظمون موت أجسادهم، وهم أشد إعظاما لموت قلوب أحبائهم. 37
- ومن كتاب كتبه إلى سهل بن حنيف: يا ابن حنيف فقد بلغني أن رجلا من فتية أهل
البصرة دعاك إلى مأدبة فأسرعت إليها تستطاب لك الالوان و تنقل إليك الجفان، وما
ظننت أنك تجيب إلى طعام قوم عائلهم مجفو وغنيهم مدعو، فانظر إلى ما تقضمه من هذا
المقضم، فما اشتبه عليك علمه فالفظه وما أيقنت بطيب وجوهه فنل منه، ألا وإن لكل
مأموم إماما يقتدي به، ويستضيئ بنور علمه ألا وإن إمامكم قد اكتفى من دنياه بطمريه،
ومن طعمه بقرصيه ألا وإنكم لا تقدرون على ذلك، ولكن أعينوني بورع واجتهاد، فوالله
ما كنزت في دنياكم تبرا، ولا ادخرت من غنائمها وفرا، ولا أعددت لبالي ثوبي طمرا.
إلى قوله عليه السلام: ولو شئت لاهتديت الطريق إلى مصفى هذا العسل، ولباب
(1) نهج البلاغة ج 2 ص 165. (2) الحديد: 23. (3) نهج البلاغة ج 2 ص 248. (4) نهج
البلاغة ج 1 ص 141.
بالاسناد، عن ابن أبي عمير،
عن عبد الرحمان بن الحجاج، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: أفطر رسول الله عشية
خميس في مسجد قبا، فقال: هل من شراب فأتاه أوس بن خولي الانصاري بعس مخيض بعسل،
فلما وضعه على فيه نحاه ثم قال: شرابان يكتفي بأحدهما من صاحبه لا أشربه ولا احرمه،
ولكن أتواضع لله، فان من تواضع لله رفعه الله، ومن تكبر خفضه الله، ومن اقتصد في
معيشته رزقه الله، ومن بذر حرمه الله، ومن أكثر ذكر الموت أحبه الله (2). ين: في
كتاب الزهد، عن ابن أبي عمير مثله إلا أنه قال: بعس من لبن مخيض بعسل (3).
(1 و 2) الكافي ج 2 ص 122. (3) مر بلفظه تحت الرقم
. 175 - وقال صلى الله عليه وآله: أقيلوا ذوي
الهنات عثراتهم (1). 176 - وقال صلى الله عليه وآله: الزهد في الدنيا قصر الامل،
وشكر كل نعمة، والورع عن كل ما حرم الله. 177 - وقال صلى الله عليه وآله: لا تعمل
شيئا من الخير رياء ولا تدعه حياء. 178 - وقال صلى الله عليه وآله: إنما أخاف على
امتي ثلاثا شحا مطاعا وهوى متبعا وإماما ضالا. 179 - وقال صلى الله عليه وآله: من
كثر همه سقم بدنه، ومن ساء خلقه عذب نفسه، و من لاحى الرجال ذهبت مروته وكرامته.
180 - وقال صلى الله عليه وآله: ألا إن شر امتي الذين يكرمون مخافة شرهم، ألا
- > العى: التحير في الكلام وبالفتح العجز وعدم الاهتداء بوجه مراده. وفى بعض نسخ
المصدر " غيا " بالغين المعجمة مصدر من باب ضرب أي ضل وخاب وهلك، والغية بالفتح
والكسر: الضلال. (1) الهناة: الداهية وهى المصيبة وجمعها هنوات. والعثرات جمع
العثرة: وهى السقطة والزلة والخطيئة والمعنى: تجاوزوا وتصفحوا عن زلات صاحب
المصيبة.
قال رسول الله صلى الله عليه وآله: لا عيش إلا لرجلين عالم
ناطق و متعلم واع. وقال صلى الله عليه وآله: إن للقلوب صدأ كصدأ النحاس (2) فاجلوها
بالاستغفار وتلاوة القرأن. وقال صلى الله عليه وآله: الزهد ليس بتحريم الحلال ولكن
أن يكون بما في يدي الله أوثق منه بما في يديه. وقال صلى الله عليه وآله: خصلتان لا
تجتمعان في مؤمن: البخل وسوء الظن بالرزق. وقال رسول الله صلى الله عليه وآله: من
أكثر الاستغفار جعل الله له من كل هم فرجا، ومن كل ضيق مخرجا ورزقه من حيث لا
يحتسب. وقال صلى الله عليه وآله: كلمة الحكمة يسمعها المؤمن خير من عبادة سنة. وقال
صلى الله عليه وآله: صنايع المعروف تقي مصارع السوء، وصدقة السر تطفئ غضب الرب،
وصلة الرحم تزيد في العمر وتدفع ميتة السوء وتنفي الفقر وتزيد في العمر. ومن كف
غضبه وبسط رضاه وبذل معروفه ووصل رحمه وأدى أمانته أدخله الله تعالى في النور
الاعظم، ومن لم يتعز بعزاء الله تقطعت نفسه حسرات، ومن لم ير أن لله عنده نعمة إلا
في مطعم ومشرب قل عمله وكبر جهله، ومن نظر إلى ما في أيدي الناس طال حزنه ودام
أسفه. وقال صلى الله عليه وآله: حسن الخلق وصلة الارحام وبر القرابة تزيد في
الاعمار وتعمر الديار، ولو كان القوم فجارا. وقال صلى الله عليه وآله: إن الله يحب
الاتقياء الاخفياء، الذين إذا حضروا لم يعرفوا، و إذا غابوا لم يفقدوا. قلوبهم
مصابيح الهدى، منجون من كل غبراء مظلمة.
وقال (عليه السلام): لا تجلسوا عند كل عالم إلا
عالم يدعوكم من الخمس إلى الخمس: من الشك إلى اليقين، ومن الكبر إلى التواضع، ومن
الرياء إلى الاخلاص، ومن العداوة إلى النصيحة، ومن الرغبة إلى الزهد.
قال النبي صلى
الله عليه واله: أفضل الزهد في الدنيا ذكر الموت، وأفضل العبادة ذكر الموت، وأفضل
التفكر ذكر الموت، فمن أثقله ذكر الموت وجد قبره روضة من رياض الجنة.
عن أبي عبد الله عليه السلام قال: قيل لامير المؤمنين عليه السلام: ما الزهد في
الدنيا ؟ قال تنكب حرامها (2). 3 - مع: ابن الوليد، عن الصفار، عن البرقي، عن أبيه،
عن محمد بن سنان، عن مالك بن عطية الاحمسي، عن معروف بن خربوذ، عن أبي الطفيل قال:
سمعت أمير المؤمنين عليه السلام يقول: الزهد في الدنيا قصر الامل، وشكر كل نعمة
الورع عما حرم الله عليك (3). 4 - مع: ابن الوليد، عن الصفار، عن البرقي، عن الجهم
بن الحكم عن السكوني قال: قال أبو عبد الله عليه السلام: ليس الزهد في الدنيا
باضاعة المال، ولا بتحريم الحلال، بل الزهد في الدنيا أن لا تكون بما في يدك أوثق
منك بما في يد الله عزوجل (4). 5 - مع: ابن الوليد، عن سعد، عن الاصبهاني، عن
المنقري، عن علي بن هاشم بن البريد، عن أبيه، عن أبي جعفر عليه السلام أن رجلا سأله
عن الزهد فقال: الزهد عشرة أشياء وأعلى درجات الزهد أدنى درجات الورع، وأعلى درجات
الورع أدنى درجات اليقين، وأعلى درجات اليقين أدنى درجات الرضا، ألا وإن الزهد في
آية من كتاب الله عزوجل " لكيلا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتاكم " (5).
دعوات الراوندي: عن علي بن الحسين عليهما السلام مثله. 6 - مع (6) ن، لى: المفسر،
عن أحمد بن الحسن الحسيني، عن الحسن
فس: أبي، عن الاصبهاني، عن المنقري، عن حفص قال: قلت لابي عبد الله
عليه السلام: جعلت فداك ما حد الزهد في الدنيا ؟ فقال: فقد حده الله في كتابه فقال
عزوجل: " لكيلا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتاكم " إن أعلم الناس بالله
أخوفهم بالله، وأخوفهم له أعلمهم به، وأعلمهم به أزهدهم فيها (3). ل، لى: أبي (4)،
عن سعد، عن الاصبهاني إلى قوله بما آتيكم (5). 9 - ضه: قال النبي صلى الله عليه
وآله: إذا رأيتم الرجل قد اعطي الزهد في الدنيا فاقتربوا منه، فانه يلقي الحكمة.
وقال صلى الله عليه وآله: المؤمن بيته قصب، وطعامه كسر، ورأسه شعث وثيابه خلق،
وقلبه خاشع، ولا يعدل بالسلامة شيئا. 10 - فس: أبي، عن الاصبهاني، عن المنقري رفعه
قال: قال رجل لعلي بن الحسين عليه السلام: ما الزهد ؟ قال: الزهد عشرة أجزاء فأعلى
درجات الزهد أدنى درجات الرضا، ألا وإن الزهد في آية من كتاب الله " ليكلا تأسوا
على ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتيكم
ا: عن علي بن إبراهيم، عن ابيه وعلي بن
محمد القاساني جميعا، عن القاسم بن محمد، عن سليمان بن داود المنقري، عن حفص بن
غياث، عن ابي عبد الله عليه السلام قال: سمعته يقول: جعل الخير كله في بيت وجعل
مفتاحه الزهد في الدنيا. ثم قال: قال رسول الله صلى الله عليه وآله: لا يجد الرجل
حلاوة الايمان في قلبه حتى لا يبالي من أكل الدنيا، ثم قال أبو عبد الله عليه
السلام: حرام على قلوبكم أن تعرف حلاوة الايمان حتى تزهد في الدنيا (1). بيان: "
جعل الخير كله " الخ لما كان الزهد في الدنيا سببا لحصول جميع السعادات العلمية
والعملية، شبه تلك الكمالات بالامتعة المخزونة في بيت والزهد بمفتاح ذلك البيت " لا
يجد الرجل " الخ شبه صلى الله عليه وآله الايمان بشئ حلو في

عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلاَنِيِّ ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ ( :
)) لَيْسَ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ ، وَلاَ فِي إِضَاعَةِ الْمَالِ ، وَلَكِنِ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا ، أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِي يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللهِ ، وَأَنْ تَكُونَ فِي ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ ، إِذَا أُصِبْتَ بِهَا ، أَرْغَبَ مِنْكَ فِيهَا ، لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ    أخرجه ابن ماجة (4100) قال : حدَّثنا هشام بن عمار. و((التِّرمِذي))2340 قال : حدَّثنا عبد الله بن عبد الرَّحْمان ، أخبرنا محمد بن المبارك.
كلاهما (هشام بن عمار ، ومحمد بن المبارك) عن عمرو بن واقد القرشي ، حدَّثنا يونس بن ميسرة بن حَلبس ، عن أبي إدريس الخولاني ، فذكره.
(*) قال أبو عِيسَى الترمذيُّ : هذا حديثٌ غريبٌ ، لا نعرفه إلا من هذا الوجه ، وأبو إدريس الخولاني اسمه عائذ الله بن عبد الله ، وعَمرو بن واقد منكر الحديث.
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو سَعْدٍ الْمَالِينِيُّ، أَنَا أَبُو أَحْمَدَ بْنُ عَدِيٍّ الْحَافِظُ، ثَنَا مُوسَى بْنُ عِيسَى الْجَزَرِيُّ، قَالَا: ثَنَا صُهَيْبُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبَّادٍ، ثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدٍ الْعَبْديُّ، عَنِ الْأَشْعَثِ بْنِ بَرَّازٍ، ح، أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، ثَنَا أَبُو الْفَضْلِ مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْفَضْلِ، ثَنَا -[124]- أَبُو زَيْدٍ أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ الْجَوْهَرِيُّ نَيْسَابُورِيٌّ، ثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، ثَنَا يَحْيَى بْنُ بِسْطَامٍ الْأَشْعَثُ، ثَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنَّ الزَّهَادَةَ فِي الدُّنْيَا تُرِيحُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ "
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بُشْرَانَ، أَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ صَفْوَانَ، نَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي الدُّنْيَا، نَا أَبُو مُسْلِمٍ الْحَرَّانِيُّ، نَا مِسْكِينُ بْنُ بُكَيْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُهَاجِرٍ، عَنْ يُونُسَ بْنِ مَيْسَرَةَ الْجُبْلَانِيُّ قَالَ: " لَيْسَ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا بِإِضَاعَةِ الْمَالِ، وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِي الدُّنْيَا أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِكَ، وَأَنْ يَكُونَ حَالُكَ فِي الْمُصِيبَةِ وَحَالُكَ إِذَا لَمْ تُصَبْ بِهَا سَوَاءً، وَأَنْ يَكُونَ مَادِحُكَ وَذَامُّكَ فِي الْحَقِّ سَوَاءً " وَرَوَاهُ عُمَرُ بْنُ وَاقِدٍ، عَنْ يُونُسَ بْنِ مَيْسَرَةَ بْنِ حَلْبَسٍ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ ، قَالَ : بَلَغَنِي أَنَّ ابْنَ مُنَبِّهٍ كَانَ يَقُولُ : أَعْوَنُ الأَخْلاَقِ عَلَى الدِّينِ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا ، وَأَوْشَكُهَا رَدًى اتِّبَاعُ الْهَوَى ، وَمِنَ اتِّبَاعِ الْهَوَى الرَّغْبَةُ فِي الدُّنْيَا ، وَمِنَ الرَّغْبَةِ فِي الدُّنْيَا حُبُّ الْمَالِ وَالشَّرَفِ ، وَمِنْ حُبِّ الْمَالِ وَالشَّرَفِ اسْتِحْلاَلُ الْمَحَارِمِ ، وَمِنَ اسْتِحْلاَلِ الْمَحَارِمِ يَغْضَبُ اللَّهُ ، وَغَضَبُ اللهِ الدَّاءُ الَّذِي لاَ دَوَاءَ لَهُ إِلاَّ رِضْوَانَ اللهِ ، وَرِضْوَانُ اللهِ دَوَاءٌ لاَ يَضُرُّ مَعَهُ دَاءٌ ، وَمَنْ يُرِيدُ أَنْ يُرْضِيَ رَبَّهُ يُسْخِطُ نَفْسَهُ ، وَمَنْ لاَ يُسْخِطُ نَفْسَهُ لاَ يُرْضِي رَبَّهُ ، إنْ كَانَ كُلَّمَا ثَقُلَ عَلَى الإِنْسَاْن شَيْءٌ مِنْ دِينِهِ تَرَكَهُ أَوْشَكَ أَنْ لاَ يَبْقَى مَعَهُ شَيْءٌ.
قال أبو سليمان رحمه الله : لا تشهد لأحد بالزهد ؛ فإن الزهد في القلب (ص : 307)
265- قال الحسن رحمه الله : إن من ضعف يقينك أن تكون بما في يدك أوثق منك بما في يد الله عز وجل (ص : 307)
266- قال مسروق رحمه الله : إن أحسن ما أكون ظناً حين يقول الخادم : ليس في البيت قفيز من قمح ولا درهم (ص : 307)
267- قال الإمام أحمد رحمه الله : أسرُّ أيامي إليَّ يوم أصبح وليس عندي شيء (ص : 307)
268- قيل لأبي حازم الزاهد رحمه الله : ما مالك ؟ قال : لي مالان لا أخشى معهما الفقر: الثقة بالله ، واليأس مما في أيدي الناس ، قيل له : أما تخاف الفقر؟ فقال : أنا أخاف الفقر ومولاي له ما في السماوات والأرض وما بينهما وما تحت الثرى؟! (ص : 307)
269- قال الفضيل بن عياض رحمه الله : أصل الزهد الرضا عن الله عز وجل (ص : 307/308)
270- قال عمار رضي الله عنه : كفى بالموت واعظاً ، وكفى باليقين غني ، وكفى بالعبادة شغلاً (ص : 308)
271- قال ابن مسعود رضي الله عنه : اليقين : أن لا ترضي الناس بسخط الله ، ولا تحسد أحداً على رزق الله ، ولا تلم أحداً على ما لم يؤتك الله ؛ فإن رزق الله لا يسوقه حرص حريص ولا يرده كراهية كاره (ص : 308)
272- قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه : من زهد الدنيا هانت عليه المصيبات (ص : 308)
273- قال الحسن رحمه الله : الزاهد : الذي إذا رأى أحداً قال : هو أفضل مني (ص : 308/309)
قال وهيب بن الورد رحمه الله : الزهد في الدنيا أن لا تأس على ما فات منها ولا تفرح بما آتاك منها (ص : 309)
275- قال سفيان الثوري رحمه الله : الزهد في الدنيا : قصر الأمل ، ليس بأكل الغليظ ولا بلبس العباء (ص : 309)
276- قال إبراهيم بن أدهم رحمه الله : الزهد ثلاثة أصناف : فزهد فرض ، وزهد فضل ، وزهد سلامة ؛ فأما الزهد الفرض فالزهد في الحرام ، والزهد الفضل الزهد في الحلال ، والزهد السلامة الزهد في الشبهات (ص : 310)
277- قال أبو سليمان الداراني رحمه الله : اختلفوا علينا في الزهد بالعراق ؛ فمنهم من قال: الزهد في ترك لقاء الناس ، ومنهم من قال : في ترك الشهوات ومنهم من قال : في ترك الشبع ، وكل منهم قريب بعضه من بعض ، قال : وأنا أذهب إلى أن الزهد في ترك ما يشغلك عن الله عز وجل (ص : 310)
(فائدة) : قال ابن رجب رحمه الله معلقاً : وهذا الذي قاله أبو سليمان حسن ، وهو يجمع جميع معاني الزهد وأقسامه وأنواعه (ص : 310)
278- قال معاذ بن جبل رضي الله عنه : إني لأحتسب نومتي كما أحتسب قومتي (ص : 313)
279- قال سعيد بن جبير رحمه الله : متاع الغرور : ما يلهيك عن طلب الآخرة ، وما لم يلهك فليس متاع الغرور ولكنه متاع بلاغ إلى ما هو خير منه (ص : 313)
280- قال يحيى بن معاذ الرازي رحمه الله : كيف لا أحب دنيا قدر لي فيها قوت أكتسب به حياة أدرك بها طاعة أنال بها الآخرة ؟ (ص : 313)
281- سئل أبو صفوان الرعيني رحمه الله - وكان من العارفين - : ما هي الدنيا التي ذمها الله في القرآن التي ينبغي للعاقل أن يتجنبها ؟ فقال : كل ما أصبت في الدنيا تريد به الدنيا فهو مذموم ، وكل ما أصبت منها تريد بها الآخرة فليس منها (ص : 313)
قال الحسن رحمه الله : نعمت الدار الدنيا كانت للمؤمن ؛ وذلك أنه عمل قليلاً وأخذ زاده منها إلى الجنة ، وبئست الدار كانت للكافر والمنافق ؛ وذلك أنه ضيع لياليه وكان زاده منها إلى النار (ص : 313)
283- قال الحسن رحمه الله : الزهد في الدنيا يريح القلب والبدن (ص : 315)
284- قال الحسن رحمه الله : إن كان أحدهم ليعيش عمره مجهوداً شديد الجهد ، والمال الحلال إلى جنبه ، يقال له : ألا تأتي هذا فتصيب منه ؟ فيقول : لا والله لا أفعل ؛ إني أخاف أن آتيه فأصيب منه فيكون فساد قلبي وعملي (ص : 315)
285- بُعِث إلى عمر بن المنكدر رحمه الله بمال ، فبكى واشتد بكاؤه ، وقال : خشيت أن تغلب الدنيا على قلبي فلا يكون للآخرة مني نصيب فذلك الذي أبكاني ، ثم أمر به فتصدق به على فقراء أهل المدينة (ص : 315)
286- قال أبو سليمان رحمه الله : الزهد : ترك ما يشغل عن الله (ص : 315)
287- قال أبو سليمان رحمه الله : كل ما يشغلك عن الله من أهل ومال وولد فهو مشئوم (ص : 315/316)
288- قال أبو سليمان رحمه الله : ليس الزاهد من ألقى هموم الدنيا واستراح منها إنما الزاهد من زهد في الدنيا وتعب فيها للآخرة (ص : 316)
289- قال عون بن عبد الله رحمه الله : الدنيا والآخرة في القلب ككفتي الميزان ، بقدر ما ترجح إحداهما تخف الأخرى (ص : 318)
290- قال وهب رحمه الله : إنما الدنيا والآخرة كرجل له امرأتان إن أرضى إحداهما أسخط الأخرى (ص : 318)
291- قال ابن مسعود رضي الله عنه لأصحابه : أنتم أكثر صلاة وصوماً وجهاداً من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم ، وهم كانوا خيراً منكم ، قالوا : كيف ذلك ؟ قال: كانوا أزهد منكم في الدنيا وأرغب منكم في الآخرة (ص : 318)
292- قال أبو الدرداء رضي الله عنه : لئن حلفتم لي على رجل أنه أزهدكم لأحلفن لكم أنه خيركم (ص : 318)
وأمّا الزهد في الدنيا: فهو سيّد الزهاد، وبدل الأبدال، وإليه تُشدّ الرحال، وعنده تنفض الأحلاس; ماشبع من طعام قطّ. وكان أخشن النّاس مأكلا وملبساً.
وأمّا قراءته القرآن واشتغاله به، فهو المنظور إليه في هذا الباب; اتّفق الكلّ على أنّه كان يحفظ القرآن على عهد رسول اللهصلى الله عليه وآله ولم يكن غيره يحفظه، ثمّ هو أوّل من جمعه...
اما اصول معاملةاللّه تعالى فسبعة اشياء: اداء حقه، و حفظ حده، و شكر عطائه، والرضا بقضائه، والصبر عن بلائه، و تعظيم حرمته والشوق اليه.
و اصول معاملة النفس سبعة: الخوف و الجهد و حمل الاذى و الرياضه و طلب الصدق و الاخلاص و اخراجها من محبوبها و ربطها فى الفقر.
و اصول معاملة الخلق سبعة: الحلم و العفو و التواضع و السخاء و الشفقة و النصح و العدل و الانصاف.
و اصول معاملة الدنيا سبعة: الرضا بالدون، والايثار بالموجود و ترك طلب المفقود و بغض الكثرة و اختيار الزهد و معرفة آفاتها و رفض شهواتها مع رفض الرياسه.
فاذا حصلت هذه لخصال فى نفس واحده فهو من خاصةاللّه و عباده المقربين و اوليائه حقا»
مصباح الشريعه، صص 6 و 5).
31. «فاذا سويته و نفخت فيه من روحى» حج / 29.
32. «انى جاعل فى الارض خليفة» بقره / 20.
33. «ليتخلقوا باخلاق خالِقهم...» امام صادق(ع). بحارالانوار، ج 68، ص 423.
34. اشاره به حديث: «انما العلم ثلاثة: آية محكمة و فريضة عادلة و سنة قائمة» اصول كافى، ج 1 ص 32.
35. تحف العقول، ص 25.
36. سوره عنكبوت، آيه 45.
37. سوره مائده، آيه 27.
38. سفينةالبحار، ماده خلق، ص 410.
39. نهج البلاغه، حكمت 145، ص 386.
40. همان، حكمت 136، ص 386.
41. چهل حديث، ص 200.
42. ترجمه چهار روايت از پيامبر اكرم(ص) به نقل از مجمع البيان، ج 10، ص 333.
43. صحيفه نور، ج 7، ص 16.
44. سوره الشمس، آيات 10 - 9.
45. صحيفه نور، ج 1، ص 234.
الامام على عليه السلام : افضل الزهد، اخفاء الزهد.(16
قال (صلى الله عليه وآله وسلم ): ( أفضل الزهد في الدنيا ذكر الموت وافضل العبادة ذكر الموت وافضل التفكر ذكر الموت فمن اثقله ذكر الموت وجد قبره روضة من رياض الجنة). جامع الأخبار: ص165 فصل 31.
وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (ليس الزهد في الدنيا لبس الخشن وأكل الجشب ولكن الزهد في الدنيا قصر الأمل)
وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (صلاح الأمة باليقين والزهد وفساد الأمة بالأمل والبخل)(18).
19ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (إن صلاح أول هذه الأمة بالزهد واليقين وهلاك آخرها بالشح والأمل)(19).
20ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (يا علي إن الله قد زينك بزينة لم يزين العباد بزينة أحب إلى الله منها زينك بالزهد في الدنيا وجعلك لا تزرأ منها شيئاً ولا تزرأ منك شيئاً)(20).
21ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (يا ابن مسعود النار لمن ركب محرماً والجنة لمن ترك الحلال فعليك بالزهد فإن ذلك مما يباهي الله به الملائكة وبه يقبل الله عليك بوجهه ويصلي عليك الجبار)(21).
22ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (إذا عرضت لكم شهوة فاقمعوها بالزهد (22).
23ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (يا رب أي الزهاد أكثر؟ زهاد أمتي أم زهاد بني إسرائيل؟ قال: إن زهاد بني إسرائيل في زهاد أمتك كشعرة سوداء في بقرة بيضاء، فقال: يا رب وكيف ذلك وعدد بني إسرائيل أكثر؟ قال: لأنهم شكوا بعد اليقين وجحدوا بعد الإقرار)(23).
24ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (لا يقدر الزاهد أن ينجو من الدنيا إلا بالورع)(24).
25ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (أفضل الزهد في الدنيا ذكر الموت)(25).
26ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (لا تجلسوا عند كل داع مدع يدعوكم من اليقين إلى الشك ومن الإخلاص إلى الرياء ومن التواضع إلى الكبر ومن النصيحة إلى العداوة ومن الزهد إلى الرغبة وتقربوا إلى عالم يدعوكم إلى التواضع من الكبر ومن الرياء إلى الإخلاص ومن الشك إلى اليقين ومن الرغبة إلى الزهد ومن العداوة إلى النصيحة ولا يصلح لموعظة الخلق إلا من جاوز هذه الآفات بصدقه وأشرف على عيوب الكلام وعرف الصحيح من السقيم وعلل الخواطر وفتن النفس والهوى)(26).
27ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (عماد الفراغ الزهد وتمام الزهد التقوى)(27).
28ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (إن الزاهدين في الدنيا تبكي قلوبهم وإن ضحكوا، ويشتد حزنهم وإن فرحوا، ويكثر مقتهم أنفسهم وإن اغتبطوا بما رزقوا)(28).
29ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (يا بن مسعود فليكن جلساؤك الأبرار وإخوانك الأتقياء والزهاد لأن الله تعالى قال في كتابه: (الأخلاء يومئذٍ بعضهم لبعض عدو إلا المتقين)(29) (30).
30ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (الرغبة في الدنيا تكثر الهم والحزن، والزهد في الدنيا يريح القلب والبدن)(31).
31ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (لا تجلسوا إلا عند من يدعوكم من خمس إلى خمس: من الشك إلى اليقين، ومن الكبر إلى التواضع، ومن العداوة إلى المحبة، ومن الرياء إلى الإخلاص، ومن الرغبة إلى الزهد)(32).
32ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (إذا رأيتم الرجل قد أعطى الزهد في الدنيا فاقتربوا منه فإنه يلقي الحكمة)(33).
33ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (الرضا بالقناعة رأس الزهد)(34).
34ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (ما يعبد الله بشيء مثل الزهد في الدنيا)(35).
35ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (الزاهد الجاهل مسخرة الشيطان)(36).
36ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (الزاهد في الدنيا يريح قلبه وبدنه)(37).
37ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (الزهد قصر الأمل والشكر على النعم والورع عن المحارم)(38).
38ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (علامة الزاهد فعشرة: يزهد في المحارم، ويكف نفسه، ويقيم فرائض ربه، فإن كان مملوكاً أحسن الطاعة، وإن كان مالكاً أحسن المملكة، وليس له حمية ولا حقد، يحسن إلى من أساء إليه، وينفع من ضره، ويعفو عمن ظلمه، ويتواضع لحق الله)(39).
39ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (ازهد فيما عند الناس يحبك الناس)(40).
40ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (خياركم عند الله أزهدكم في الدنيا وأرغبكم في الآخرة)(41).
41ـ وقال(صلى الله عليه وآله وسلم): (خير أمتي أزهدهم في الدنيا)(42).
42ـ وجاء جبرائيل إلى النبي (صلى الله عليه وآله وسلم) فقال: يا رسول الله إن الله تبارك وتعالى أرسلني إليك بهدية لم يعطها قبلك، قال رسول الله(صلى الله عليه وآله وسلم) قلت: وما هي؟ قال: الصبر وأحسن منه، قلت: وما هو ؟قال: الرضا واحسن منه، قلت: وما هو؟ قال: الزهد واحسن منه ـ إلى أن قال: ـ قلت: يا جبرائيل فما تفسير الزهد، قال: الزاهد يحب من يحب خالقه ويبغض من يبغض خالقه ويتحرج من حلال الدنيا ولا يلتفت إلى حرامها فإن حلالها حساب وحرامها عقاب ويرحم جميع المسلمين كما يرحم نفسه ويتحرج من الكلام كما يتحرج من الميتة التي اشتد نتنها ويتحرج عن حطام الدنيا وزينتها كما يتجنب النار أن تغشاه، وأن يقصر أمله وكان بين عينيه أجله)(43).
43ـ قال أبوذر: قلت: يا رسول الله من أزهد الناس؟ قال(صلى الله عليه وآله وسلم): من لم ينس المقابر والبلى وترك ما يفنى لما يبقى، ومن لم يعد غداً من أيامه وعد نفسه من الموتى)(44).
44ـ وعن أبي سعيد الخدري قال سمعت رسول الله (صلى الله عليه وآله وسلم) يقول لرجل يعظه: (ارغب فيما عند الله يحبك الله، وازهد ما في أيدي الناس يحبك الناس، إن الزاهد في الدنيا يرتجي ويريح قلبه الدنيا والآخرة، والراغب فيها يتعب قلبه وبدنه في الدنيا والآخرة)(45).
45ـ عن عمار بن ياسر قال سمعت رسول الله(صلى الله عليه وآله وسلم): (يا علي إن الله تعالى زينك بزينة لم يزين العباد بزينة هي أحب إليه منها زهدك في الدنيا وبغضها إليك)(46).
الإمام علي بن أبي طالب (عليه السلام)
46ـ قال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ازهد فيما أيدي الناس تأمنهم)(47).
47ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ازهد في الدنيا يبصرك الله عوراتها)(48).
48ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ازهد في الدنيا واعزف عنها وإياك أن ينزل بك الموت وأنت آبق أبقى من ربك في طلبها فتشقى)(49).
49ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ازهد في الدنيا واعزف عنها وإياك أن ينزل بك الموت وقلبك متعلق بشيء منها فتهلك)(50).
50ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ازهد في الدنيا تنزل عليك الرحمة)(51).
51ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ازهد في الدنيا يبصرك الله عيوبها)(52).
52ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ازهدوا في هذه الدنيا التي لم يتمتع بها أحد كان قبلكم ولا تبقى لأحد من بعدكم)(53).
53ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (يا أيها الناس ازهدوا في الدنيا فإن عيشها قصير وخيرها يسير وإنها لدار شخوص ومحلة تنغيص وإنها لتدني الآجال وتقطع الآمال إلا وهي المتصدية العنون والجامحة الحزون والمانية الخؤون)(54).
54ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أول الزهد التزهد)(55).
55ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الراحة في الزهد التزهد)(56).
56ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (يا ابن آدم لا تأسف على مفقود لايردّه إليك الفوت، ولا تفرح بموجود لا يتركه في يديك الموت)(57).
57ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (التزهد يؤدي إلى الزهد)(58).
58ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (كسب العلم التزهد في الدنيا)(59).
59ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أيها الناس إنما الناس ثلاثة: زاهد وراغب وصابر، فأما الزاهد فلا يفرح بشيء من الدنيا أتاه ولا يحزن على شيء منها فاته، وأما الصابر فيتمناها بقلبه فإن أدرك منها شيئاً صرف عنها نفسه لما يعلم من سوء عاقبتها، وأما الراغب فلا يبالي من حل أصابها أم من حرام)(60).
60ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزاهد في الدنيا كلما ازدادت له تحلياً ازداد عنها تولياً)(61).
61ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (همة الزاهد مخالفة الهوى والسلو عن الشهوات)(62).
62ـ وقال(عليه السلام): (الزاهد في الدنيا من لم يغلب الحرام صبره ولم يشغل الحلال شكره)(63).
63ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إذا هرب الزاهد من الناس فاطلبه)(64).
64ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إذا طلب الزاهد الناس فاهرب منه)(65).
65ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزاهد عندنا من علم فعمل ومن أيقن فحذر وإن أمسى على عسر حمد الله وإن أصبح على يسر شكر الله فهو الزاهد)(66).
66ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزاهد عندنا من علم فعمل ومن أيقن فحذر وإن أمسى على عسر حمد الله وإن أصبح على يسر شكر الله فهو الزاهد)(67).
67ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزاهدون في الدنيا قوم وعظوا فاتعظوا وخوفوا فحذروا وعلموا فعملوا وإن أصابهم يسر شكروا وإن أصابهم عسر صبروا)(68).
68ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (انظروا إلى الدنيا نظر الزاهدين فيها الصارفين عنها، فإنها والله عما قليل تزيل الثاوي وتفجع المترف الآمن)(69).
69ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (لا تكن ممن يرجو الآخرة بغير عمل، ويسوف التوبة بطول الأمل، يقول في الدنيا بقول الزاهدين ويعمل فيها بعمل الراغبين)(70).
70ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إن الزهاد في الدنيا نور الجلال عليهم واثر الخدمة بين أعينهم وكيف لا يكون كذلك وإن الرجل لينقطع إلى بعض ملوك الدنيا فيرى عليه أثره فكيف بمن ينقطع إلى الله تعالى ولايرى أثره عليه)(71).
71ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد أفضل الراحتين)(72).
72ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ثمرة الزهد الراحة)(73).
73ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من أحب الراحة فليؤثر الزهد في الدنيا)(74).
74ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من زهد في الدنيا حصن دينه)(75).
75ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من زهد في الدنيا لم تفته)(76).
76ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من زهد في الدنيا اعتق نفسه وأرضى ربه)(77).
77ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (المؤمن دأبه زهادته وهمه ديانته وعزه قناعته)(78).
78ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أيها الناس الزهادة قصر الأمل والشكر عند المنعم والورع عند المحارم، فإن عزب ذلك عنكم فلا يغلب الحرام صبركم)(79).
79ـ وقيل لأمير المؤمنين(عليه السلام): ما الزهد قال: (الرغبة في التقوى والزهادة في الدنيا)(80).
80 ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (اليقين أفضل الزهادة)(81).
81 ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ثمرة اليقين الزهادة)(82).
82 ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أفضل العباد الزهادة )(83).
83 ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (فضيلة العقل الزهادة)(84).
84 ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد في الدنيا قصر الأمل وشكر كل نعمة، الورع عما حرم الله عز وجل، من أسخط بدنه أرضى ربه، ومن لم يسخط بدنه عصى ربه)(85).
85 ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الإيثار زينة الزهد)(86).
86 ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إنما العالم من دعاه علمه إلى الورع والتقى والزهد في عالم الفناء والتوله بجنة المأوى)(87).
87 ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (اليقين يثمر الزهد)(88).
88 ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (يستدل على اليقين بقصر الأمل وإخلاص العمل والزهد في الدنيا)(89).
89 ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (كسب العلم الزهد في الدنيا)(90).
90ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (يسير المعرفة يوجب الزهد في الدنيا)(91).
91ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (العلم يرشدك إلى ما أمرك الله به، والزهد يسهل لك الطريق إليه)(92).
92ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ست من قواعد الدين: إخلاص اليقين ونصح المسلمين وإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت والزهد في الدنيا)(93).
93ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد سجية المخلصين)(94).
94ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد مفتاح صلاح)(95).
95ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد شيمة المتقين وسجية الأوابين)(96).
96ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أفضل الطاعات الزهد في الدنيا)(97).
97ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (حسن الزهد من أفضل الإيمان وحسن الرغبة في الدنيا تفسد الإيقان)(98).
98ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (رأس السخاء الزهد في الدنيا)(99).
99ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (زين الحكمة الزهد في الدنيا)(100) .
100ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد ثمرة الدين)(101).
101ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد أصل الدين)(102).
102ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد ثمرة اليقين)(103).
103ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد أساس اليقين الدين)(104).
104ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد قصر الأمل)(105).
105ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد أن لا تطلب المفقود حتى يعدم الموجود)(106).
106ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد تقصير الآمال وإخلاص الأعمال)(107).
107ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أفضل الزهد إخفاء الزهد)(108).
108ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أصل الزهد الرغبة فيما عند الله)(109).
109ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أصل الزهد اليقين وثمرته السعادة)(110).
110ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ظلف النفس عن لذات الدنيا هو الزهد المحمود)(111).
111ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (كيف يصل إلى حقيقة الزهد من لم تمت شهوته)(112).
112ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إن في الزهد لراحة)(113).
113ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد في الدنيا ثلاثة أحرف زاء وهاء ودال، فأما الزاء فترك الزينة، وأما الهاء فترك الهوى، وأما الدال فترك الدنيا)(114) .
114ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من لم يئس على الماضي ولم يفرح بالآتي فقد أخذ الزهد بطرفيه)(115).
115ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد في الدنيا الراحة العظمى)(116).
116ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من اعتزل حسنت زهادته)(117).
117ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد ثروة)(118).
118ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد متجر رابح)(119).
119ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ثمن الجنة الزهد في الدنيا)(120).
120ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (مع الزهد تثمر الحكمة)(121).
121ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إن الزهد في ولاية الظالم بقدر الرغبة في ولاية العادل)(122).
122ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من أحب السلامة فليؤثر الفقر ومن أحب الراحة فليؤثر الزهد في الدنيا)(123).
123ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إن من أعون الأخلاق على الدين الزهد في الدنيا)(124).
124ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (يستدل على اليقين بقصر الأمل وإخلاص العمل والزهد في الدنيا)(125).
125ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (احي قلبك بالموعظة، وأمته بالزهادة، وقوِّه باليقين، وذلله بذكر الموت، وقرره بالفناء، وبصره فجائع الدنيا)(126).
126ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أحق الناس بالزهادة من عرف نقص الدنيا)(127) .
127ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إن الدنيا لا يسلم منها إلا بالزهد فيها)(128).
128ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ألا وان الدنيا دار لا يسلم منها إلا بالزهد فيها ولا ينجى منها بشيء كان لها ولا ينجي بشيء منها)(129).
129ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (عليك بالزهد فإنه عون الدين)(130).
130ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (بالزهد تثمر الحكمة)(131).
131ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (تحبب إلى الناس بالزهد فيما أيديهم تفز بالمحبة منهم)(132).
132ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من عرف الدنيا تزهّد)(133).
133ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (قاتل الهوى: زاهد في الدنيا وراغب في الآخرة، يحب الضيف ويكرم اليتيم ويلطف الصغير ويرفق الكبير ويعطي السائل ويعود المريض ويشيع الجنائز …)(134).
134ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (كن في الدنيا زاهداً وفي الآخرة راغباً)(135).
135ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (كن زاهداً فيما يرغب فيه الجهول)(136).
136ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (لا ينفع زهد من لم يتخل عن الطمع ويتحل بالورع)(137).
137ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (لن يفتقر من زهد)(138).
138ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من زهد هانت عليه المحن)(139).
139ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (العفاف زهادة)(140).
140ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أعظم الناس سعادة أكثرهم زهادة)(141).
141ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من زهد في الدنيا تهاون بالمصيبات)(142).
142ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من زهد في الدنيا قرَّت عينه بما يرى من ثواب الله عز وجل )(143).
143ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من زهد في الدنيا هانت عليه المصيبات)(144).
45ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد ثروة والورع جنة، وأفضل الزهد إخفاء الزهد، الزهد يخلق الأبدان ويحدد الآمال ويقرب المنية ويباعد الأمنية، من ظفر به نصب ومن فاته تعب ـ إلى أن قال: ـ لا زهد كالزهد في الحرام، الزهد كله بين كلمتين قال الله:(لكي لا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتاكم) (146)، فمن لم ييأس على الماضي ومن لم يفرح بالآتي فقد أخذ الزهد بطرفيه، أيها الناس الزهادة قصر الأمل والشكر عند النعم والورع عند المحارم)(147).
146ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (لا ترغبن فيمن زهد فيك ولا تزهدن فيمن رغب عنك)(148).
147ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام) في كتابه إلى ابنه الحسن (عليه السلام): (لن يهلك من اقتصد ولن يفتقر من زهد)(149).
148ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من زهد في الدنيا ولم يجزع من ذلها ولم ينافس في عزها هداه الله بغير هداية من مخلوق وعلّمه بغير تعليم وأثبت الحكمة في صدره وأجراها على لسانه)(150).
149ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من زهد في الدنيا هانت عليه مصائبها ولم يكرهها)(151).
150ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (العاقل من زهد في دنيا فانية دنية دنية فانية ورغب في جنة سنية خالدة عالية علية)(152).
151ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من أيقن بما يبقى زهد فيما يفنى)(153).
152ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (زهد المرء فيما يفنى على قدر يقينه بما يبقى)(154).
153ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أفضل الناس من تنزهت نفسه وزهد عن غنية)(155).
154ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إن أفضل الناس من حلم عن قدرة وزهد عن غنية وأنصف عن قوة)(156).
155ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من صح يقينه زهد في المراء)(157).
156ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (لا زهد كالكف عن الحرام)(158).
157ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من زهد في الدنيا قرت عينه بجنة المأوى)(159).
158ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من زهد في الدنيا هانت عليه المصائب)(160).
159ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إن علامة الراغب في ثواب الآخرة زهده في عاجل زهرة الدنيا، أما ان زهد الزاهد في هذه الدنيا لا ينقصه ما قسم الله له فيها وإن زهد)(161).
160ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (لا زهد كالزهد في الحرام، الزهد كله بين كلمتين قال الله تعالى: (لكي لا تأسوا على ما فاتكم ولاتفرحوا بما آتاكم) (162))(163).
161ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إنكم إن زهدتم خلصتم من شقاء الدنيا وفزتم بدار البقاء)(164).
162ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (لو زهدتم في الشهوات لسلمتم من الآفات)(165).
163ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (أوحى الله إلى بعض الأنبياء أما زهدك في الدنيا فتعجلك الراحة وأما انقطاعك إليَّ فيعززك بي)(166).
164ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (زهدك في الدنيا ينجيك ورغبتك فيها ترديك)(167).
165ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ليكن زهدك فيما ينفد ويزول فإنه لايبقى لك ولا تبقى له)(168).
166ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (خير من صحبت من ولهك بالأخرى وزهّدك في الدنيا وأعانك على طاعة المولى)(169).
167ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إنك لن تخلق للدنيا فازهد فيها واعرض عنها)(170).
168ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إن كنتم في البقاء راغبين فازهدوا في عالم الفناء)(171).
169ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزاهد في الدنيا من وعظ اتعظ، ومن علم فعل، ومن أيقن فحذر، فالزاهدون في الدنيا قوم وعظوا فاتعظوا، وأيقنوا فحذروا، وعلموا فعملوا، إن أصابهم يسر شكروا، وإن أصابهم عسر صبروا)(172).
170ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (كونوا ممن عرف فناء الدنيا فزهد فيها وعلم بقاء الآخرة فعمل لها)(173).
171ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (إن الله تعالى خلق خلقاً ضيق عليهم الدنيا نظراً لهم فزهدهم فيها وفي حطامها فرغبوا إلى دار السلام التي دعاهم إليها وصبروا على ضيق المعيشة وصبروا على المكروه واشتاقوا إلى ما عند الله من الكرامة وبذلوا أنفسهم ابتغاء رضوان من الله)(174).
172ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (الزهد يخلق الأبدان ويجدد الآمال ويقرب المنية ويباعد الأمنية، من ظفر به نصب ومن فاته تعب، لا كرم كالتقوى، ولا تجارة كالعمل الصالح، ولا ورع كالوقوف عند الشبهة، ولا زهد كالزهد في الحرام)(175).
173ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (طوبى للزاهدين في الدنيا والراغبين في الآخرة أولئك الذين اتخذوا الأرض بساطاً وترابها فراشاً وماءها طيباً والقرآن دثاراً و الدعاء شعاراً وقرضوا من الدنيا تقريضاً على منهاج عيسى بن مريم(عليه السلام))(176).
174ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ينبغي لمن علم سرعة زوال الدنيا أن يزهد فيها)(177).
175ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (كيف يزهد في الدنيا من لا يعرف قدر الآخرة)(178).
176ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ينبغي لمن عرف قدر الدنيا أن يزهد فيها ويعزف عنها)(179).
177ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (العاقل من يزهد فيما يرغب فيه الجاهل)(180).
178ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (من لم يزهد في الدنيا لم يكن له نصيب في جنة المأوى)(181).
179ـ وقال أمير المؤمنين(عليه السلام): (ينبغي لمن عرف الناس أن يزهد فيما في أيديهم)(182).
180ـ وقيل لأمير المؤمنين(عليه السلام): ما الزهد في الدنيا؟ قال: (حرامها فتكتبه)(183).
181ـ روى نوف البكالي: قلت: يا أمير المؤمنين صف لي شيعتك، فبكى(عليه السلام) ثم قال: (شيعتي والله الحكماء الحلماء، العلماء بالله وبدينه، العاملون بأمره، المهتدون بطاعته، أحلاس عباده وأنضاء زهادة، صفر الوجوه من السهر..)(184). الحديث
182ـ وسئل أمير المؤمنين(عليه السلام): أي الناس خير عند الله؟ قال(عليه السلام) : (أخوفهم لله وأعلمهم بالتقوى وأزهدهم في الدنيا(185).
183ـ ومن وصية أمير المؤمنين(عليه السلام) لولده الإمام الحسن(عليه السلام): (يا بني قصّر الأمل واذكر الموت وازهد في الدنيا فإنك رهين موت وغرض بلاء وطريح سقم)(186).
تتمة
و عن على عليه السلام : الزهد ثلاثة احرف : زاء و هاء و دال . فاما الزاء فترك الزينة . و اما الهاء فترك الهوى . و اما الدال فترك الدنيا.
قال الصادق عليه السلام : الزهد مفتاح باب الاخرة ، و البراءة من النار. و هو تركك كل شى ء يشغلك عن الله من غير تاسف على فوتها، و لااعجاب فى تركها، و لاانتظار فرج منها، و لا طلب محمدة عليها، و لاعوض بها، بل ترى فوتها راحة ، و تكونها آفة ، و تكون ابدا هاربا من الافة ، معتصما بالراحة ، و الزاهد الذى يختار الاخرة على الدنيا، و الذل على العز، و الجهد على الراحة ، و الجوع على الشبع ، و عافية الاجل على محبة العاجل ، و الذكر على الغفلة ، و تكون نفسه فى الدنيا، و قلبه فى الاخرة
قال فى شرح نهج البلاغة : الزهد فهو الاعراض عن غيرالله ، و قد يكون ظاهرا و قد يكون باطنا الا ان المنتفع به هو الباطن . قال صلى الله عليه و آله : ان الله لا ينظر الى صوركم و لا الى اعمالكم و لكن ينظر الى قلوبكم و نياتكم (90)، و ان كان لابد من الزهد الظاهرى اولا، اذا الزهد الحقيقى فى مبدا السلوك لايتحقق . و السبب فيه ان اللذات البدنية حاضرة ، و الغاية العقلية التى يطلبها الزهد الحقيقى غير متصورة له فى مبدا الامر، و اما الظاهرى فهو ممكن متيسر لمن قصده لتيسر غايته و هى الرياء و السمعة ، و لذلك قال عليه السلام : الرياء قنطرة الاخلاص . (91)
وعن عيسى (عليه السلام): (الزهد ثلاث: المنطق، والصمت، والنظر، فمن كان منطقه في غير ذكر الله فقد لغا، ومن كان صمته في غير تفكر فقد لها، ومن كان نظره في غير اعتبار فقد سها).
أنّ الزهد ليس عبارة عن ترك الدنيا إلّا في المحرمات والشبهات، وأمّا في المباحات فالزهد عبارة عن أن لا تملكك الدنيا. ألا ترى أنّ الآية المباركة التي بدأنا بها الحديث لم تجعل غاية سَنّ البلاء والمصائب في الدنيا بُغض نعم الدنيا المحللة، بل جعلت الغاية: أن لا تأسوا على مافاتكم ولا تفرحوا بما آتاكم.
واليك بعض روايات الزهد تلقي بمجموعها الضوء على معنى الزهد:
عن أبي جعفر عليه السلام (إن رجلاً سأله عن الزهد فقال : الزهد عشرة أشياء، وأعلى درجات الزهد أدنى درجات الورع، وأعلى درجات الورع أدنى درجات اليقين، وأعلى درجات اليقين أدنى درجات الرضا، ألا وإنّ الزهد في آية من كتاب اللَّه عزّ وجلّ: ...لكي لا تأسوا على مافاتكم ولا تفرحوا بماآتاكم...).
ثُمّ أنّه ورد عن أهل العرفان غير التابعين لأهل البيت عليهم السلام تفسير الزهد بثلاث درجات :
الدرجة الأُولى - الزهد عن المحرمات والشبهات، وهو زهد العامّة.
والدرجة الثانية - الزهد عمّا عدا المُسكة والاكتفاء بقدر الاضطرار.
والدرجة الثالثة - الزهد في الزهد، أي: أنّه لا يرى مال الدنيا شيئاً في جنب اللَّه تعالى، فهو مشغول عنه باللَّه، لا ينشغل لا بحبّ الدنيا ولا ببغضها، قيل: ومنه قول الشاعر وإن لم يقصده:
إذا زهّدتني في الهوى خشية الردى جلت لي عن وجه يزهّد في الزهد
وذكر الغزالي ما حاصله: إنّ الفقير - وأقصد بذلك فقر المال - يتصوّر له خمسة أحوال:
الأُولى - وهي الحالة العليا: أن يكون بحيث لو أتاه المال لكرهه، وتأذّى به، وهرب من آخذه مبغضاً له، ومحترزاً من شرّه وشغله، وهذا هو الزهد، واسم صاحبه: الزاهد.
والثانية - أن يكون بحيث لا يرغب فيه رغبة يفرح لحصوله، ولا يكرهه كراهة يتأذّى بها ويزهد فيه، ولو أتاه رضي به. وصاحب هذه الحالة يُسمّى: راضياً.
والثالثة - أن يكون وجود المال أحبّ إليه من عدمه؛ لرغبة له فيه، ولكن لم يبلغ من رغبته أن ينهض لطلبه، بل إن أتاه عفواً صفواً أخذه وفرح به، وإن افتقر إلى تعب في طلبه لم يشتغل به. وصاحب هذه الحالة نسمّيه: قانعاً؛ إذ قنعت نفسه بالموجود حتى ترك الطلب مع ما فيه من الرغبة الضعيفة.