Senin, 20 Februari 2012

Khitan bagi Wanita


Khitan bagi Wanita

Penyusun: Ummu Muhammad
Bagi masyarakat muslim Indonesia, khitan bagi anak laki-laki adalah sebuah perkara yang sangat wajar, meskipun di sana sini masih banyak yang perlu diluruskan berhubungan dengan pelaksanaan sunnah bapak para nabi (Ibrohim ‘alaihissalam). Namun, bagi kaum hawa, khitan menjadi sebuah perkara yang sangat jarang dilakukan, bahkan bisa saja masih menjadi sesuatu yang tabu dilakukan oleh sebagian orang, atau bahkan mungkin ada yang mengingkarinya. Padahal tentang disyariatkannya khitan bagi kaum wanita adalah sesuatu yang benar-benar ada dalam syariat islam yang suci ini, dan setahu kami (penulis) tidak ada khilaf ulama mengenai hal ini. Khilaf di kalangan mereka hanya berkisar antara apakah khitan itu wajib dilakukan oleh kaum wanita ataukah sekedar sunnah (mustahab). Semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit penjelasan tentang permasalahan ini.
Pengertian Khitan
Khitan secara bahasa diambil dari kata (ختن ) yang berarti memotong. Sedangkan al-khatnu berarti memotong kulit yang menutupi kepala dzakar dan memotong sedikit daging yang berada di bagian atas farji (clitoris) dan al-khitan adalah nama dari bagian yang dipotong tersebut. (lihat Lisanul Arab, Imam Ibnu Manzhur).
Berkata Imam Nawawi, “Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala dzakar sehingga kepala dzakar itu terbuka semua. Sedangkan bagi wanita, maka yang wajib hanyalah memotong sedikit daging yang berada pada bagian atas farji.”(Syarah Sahih Muslim 1/543, Fathul Bari 10/340)
Dalil Disyariatkannya Khitan
Khitan merupakan ajaran nabi Ibrohim ‘alaihissalam, dan umat ini diperintahkan untuk mengikutinya, sebagaimana dalam QS. An-Nahl: 123,
ثم أوحينا إليك أن اتبع ملّة إبراهيم حنيفا
“Kemudian Kami wahyukan kapadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrohim, seorang yang hanif.”
Disebutkan dalam Tufatul Maudud, halaman 164 bahwa Saroh ketika menghadiahkan Hajar kepada nabi Ibrohim ‘alaihissalam , lalu Hajar hamil, hal ini menyebabkan ia cemburu. Maka ia bersumpah ingin memotong tiga anggota badannya. Nabi Ibrohim ‘alaihissalam khawatir ia akan memotong hidung dan telinganya, lalu beliau menyuruh Saroh untuk melubangi telinganya dan berkhitan. Jadilah hal ini sebagai sunnah yang berlangsung pada para wanita sesudahnya.
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قاال رسول الله صلي الله عليه وسلم : خمس من الفطرة : الاستحداد والختان، وقص الشارب،ونتف الابط،وتقليم الأظفا ر.
Dari Abu Harairah radhiyallahu’anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ” lima hal yang termasuk fitroh yaitu: mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.” (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim)
Hukum Khitan bagi Wanita
a. Ulama yang mewajibkan khitan, mereka berhujjah dengan beberapa dalil:
1. Hukum wanita sama dengan laki-laki, kecuali ada dalil yang membedakannya, sebagimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ummu Sulaim radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita itu saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Daud 236, Tirmidzi 113, Ahmad 6/256 dengan sanad hasan).
2. Adanya beberapa dalil yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut khitan bagi wanita, diantaranya sabda beliau:
إذ التقى الختا نا ن فقد وجب الغسل
Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Tirmidzi 108, Ibnu Majah 608, Ahamad 6/161, dengan sanad shahih).
عن عائسة رضي الله عنها قالت,قال رسول الله صلي الله هليه و السلم : إذ جلس بين شهبها الأربع و مسّ الختان الختان فقد وجب الغسل.
Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila seorang laki-laki duduk di empat anggota badan wanita dan khitan menyentuh khitan maka wajib mandi.” (HR. Bukhori dan Muslim)
عن أنس بن مالك, قال رسول الله صلي الله عليه والسلم لأمّ عاطية رضي الله عنها : إذا خفضت فأشمي ولا تنهكي فإنّه أسرى للوجه وأحضى للزوج.
Dari Anas bin Malik rodhiyallahu’anhu berkata, Rosulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ummu ‘athiyah,”Apabila engkau mengkhitan wanita biarkanlah sedikit, dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”(HR. Al-Khatib)
3. Khitan bagi wanita sangat masyhur dilakukan oleh para sahabat dan para shaleh sebagaimana tersebut di atas.
b. Ulama yang berpendapat sunnah, alasannya:
Menurut sebagian ulama tidak ada dalil secara tegas yang menunjukkan wajibnya, juga karena khitan bagi laki-laki tujuannya membersihkan sisa air kencing yang najis yang terdapat pada tutup kepala dzakar, sedangkan suci dari najis merupakan syarat sahnya sholat. Sedangkan khitan bagi wanita tujuannya untuk mengecilkan syahwatnya, jadi ia hanya untuk mencari sebuah kesempurnaan dan bukan sebuah kewajiban. (Syarhul Mumti’, Syaikh Ibnu Utsaimin 1/134)
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah pernah ditanya, “Apakah wanita itu dikhitan ?” Beliau menjawab, “Ya, wanita itu dikhitan dan khitannya adalah dengan memotong daging yang paling atas yang mirip dengan jengger ayam jantan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, biarkanlah sedikit dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi suami.’ Hal ini karena, tujuan khitan laki-laki ialah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit kepala dzakar. Sedangkan tujuan khitan wnaita adalah untuk menstabilkan syahwatnya, karena apabila wanita tidak dikhitan maka syahwatnya akan sangat besar.” (Majmu’ Fatawa 21/114)
Jadi, khilaf mengenai hukum khitan ini ringan, baik sunnah atau wajib keduanya adalah termasuk syariat yang diperintahkan, kita harus berusaha untuk melaksanakannya.
Waktu Khitan
Terdapat beberapa hadits yang dengan gabungan sanadnya mencapai derajat hasan yang menunjukkan bahwa khitan dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah kelahiran, yaitu:
  1. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhuma, bahwasannya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan aqiqah Hasan dan Husain serta mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.(HR. Thabrani dan Baihaqi)
  2. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu berkata, “Terdapat tujuh perkara yang termasuk sunnah dilakukan bayi pada hari ketujuh: Diberi nama, dikhitan,…” (HR. Thabrani)
  3. Dari Abu Ja’far berkata, “Fathimah melaksanakan aqiqah anaknya pada hari ketujuh. Beliau juga mengkhitan dan mencukur rambutnya serta menshadaqahkan seberat rambutnya dengan perak.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Namun, meskipun begitu, khitan boleh dilakukan sampai anak agak besar, sebagaiman telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhyallahu’anhu, bahwa beliau pernah ditanya, “Seperti apakah engkau saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia ?” Beliau menjawab, “Saat itu saya barusan dikhitan. Dan saat itu para sahabat tidak mengkhitan kecuali sampai anak itu bisa memahami sesuatu.” (HR. Bukhori, Ahmad, dan Thabrani).
Berkata Imam Al-Mawardzi, ” Khitan itu memiliki dua waktu, waktu wajib dan waktu sunnah. Waktu wajib adalah masa baligh, sedangkan waktu sunnah adalah sebelumnya. Yang paling bagus adalah hari ketujuh setelah kelahiran dan disunnahkan agar tidak menunda sampai waktu sunnah kecuali ada udzur. (Fathul Bari 10/342).
Walimah Khitan
Acara walimah khitan merupakan acara yang sangat biasa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, atau mungkin juga di negeri lainnya. Persoalannya, apakah acara semacam itu ada tuntunannya atau tidak ?
Utsman bin Abil ‘Ash diundang ke (perhelatan) Khitan, dia enggan untuk datang lalu dia diundang sekali lagi, maka dia berkata, ” Sesungguhnya kami dahulu pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi walimah khitan dan tidak diundang.” (HR. Imam Ahmad)
Berdasarkan atsar dari Utsman bin Abil’Ash di atas, walimah khitan adalah tidak disyariatkan, walaupun atsar ini dari sisi sanad tidak shohih, tetapi ini merupakan pokok, yaitu tidak adanya walimah khitan. Karena khitan merupakan hukum syar’i, maka setiap amal yang ditambahkan padanya harus ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As Sunnah. Dan walimah ini merupakan amalan yang disandarkan dan dikaitkan dengan khitan, maka membutuhkan dalil untuk membolehkannya. Semoga Allah ta’ala memudahkan kaum muslimin untuk menjalankan sunnah yang mulia ini.
Di ringkas oleh Ummu Ibrohim, dari:
  1. Khitan bagi Wanita, Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Al-Furqon edisi 6 Tahun V/ Muharram 1427/ Februari 200
  2. Khitan bagi Wanita, Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsari, As Sunnah edisi 1/V/1421 H/2001 M
HUKUM KHITAN BAGI WANITA

Di antara hal yang sering diperbincangkan di masyarakat adalah masalah khitan bagi wanita, apa hukumnya? Berikut penjelasan yang mudah-mudahan bermanfa'at bagi kita semua.

Definisi Khitan

Di dalam kamus bahasa Arab terkenal 'Lisan al-'Arab' (materi: Khatana) dinyatakan, kata Khitan berasal dari kata kerja Khatana al-ghulama wa al-jariyata, yakhtinuhuma, khitnan. Bentuk Ism (Kata benda)-nya adalah Khitan dan Khitanah. Seorang yang dikhitan (disunat) disebut makhtun. Ada yang mengatakan, al-khatnu untuk laki-laki sedangkan untuk wanita disebut al-khafdhu. Sedangkan kata khatiin artinya orang yang dikhitan, baik laki-laki mau pun wanita. Abu Manshur mengatakan, ?Khitan adalah letak pemotongan dari kelamin laki-laki maupun wanita.? Dalam hal ini, terdapat hadits masyhur yang berbunyi, (artinya) ?Bila dua khitan (alat kelamin laki-laki dan wanita) telah bertemu, maka telah wajiblah mandi.?

Imam An-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim (I: 543) berkata, ?Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutup ujung dzakar hingga terbuka semua ujungnya tersebut. Sedangkan bagi wanita adalah memotong sedikit bagian dari kulit yang di atas farji.?

Al-Hafizh Ibn Hajar di dalam kitabnya Fath Al-Bari (X: 340) berkata, ?Al-Khitan adalah bentuk mashdar dari kata kerja Khatana, yaitu Qatha'a (memotong). Sedangkan Al-Khatnu adalah memotong sebagian tertentu dari anggota tertentu.?

Al-Hafizh Ibn Hajar juga ber-kata, ?Imam an-Nawawi berkata, ?Khitan bagi laki-laki dinamakan I'dzar sedangkan bagi wanita dinamakan Khafdh.? Abu Syammah berkata, ?Menurut ahli bahasa, untuk sebutan semua (bagi laki-laki dan wanita) digunakan I'dzar sedangkan Khafdh khusus bagi wanita.?

Hadits-Hadits tentang Khitan Wanita

1. Dari Abu Hurairah, ia berkata, ?Aku mendengar Nabi bersabda, 'Fitrah itu ada lima; khitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.? (HR.Imam Muslim, Abu Daud, an-Nasa'i dan Ibn Majah)

Hadits ini sering dimuat dalam penjelasan mengenai khitan bagi wanita namun untuk dijadikan sebagai dalil khusus bagi khitan wanita tidak menyatakan secara terang-terangan dan gamblang, kecuali dari sisi makna umum yang dikandungnya bilamana diga-bungkan dengan hadits lainnya, ?Sesungguhnya kaum wanita adalah sekandung kaum laki-laki.?

Sedangkan hadits-hadits yang khusus menyinggung tentang khitan wanita, semuanya tidak terlepas dari sorotan dan cacat. Di antaranya:

2. Hadits yang dikeluarkan Abu Daud dari Ummu 'Athiyyah, bahwasanya seorang wanita berkhitan di Madinah, lantas Nabi berkata kepadanya, ?Janganlah engkau bebani dirimu sebab hal itu lebih menguntungkan wanita dan lebih dicintai suami.? Namun pada isnad hadits ini terdapat Muhammad bin Hassan. Abu Daud berkata, ?Seorang Majhul (tidak dikenal identitasnya).? Ia juga berkata, ?Ia meriwayatkan hadits Mursal.? Beliau kemudian melemahkan hadits ini.

3. Terdapat pendukung lain untuk hadits Ummu 'Athiyyah di atas yang dimuat oleh al-Khatib al-Baghdadi (V: 327) dari jalur Muhammad bin Sallam al-Jumahi, dari Ummu 'Athiyyah tetapi di dalam isnadnya terdapat Za'idah bin Abi ar-Raqqad, seorang periwayat hadits Munkar sebagaimana dikata-kan al-Hafizh Ibn Hajar di dalam kitabnya Taqrib at-Tahdzib.

4. Mengomentari ucapan Abu Daud terhadap hadits Ummu 'Athiyyah, ?Ia meriwayatkan hadits Mursal?; pengarang buku 'Aun al-Ma'bud, syarah Sunan Abi Daud berkata, "Demikian juga diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak, ath-Thabarani, Abu Nu'aim dan al-Baihaqi dari Abdul Malik bin Umair, dari adh-Dhahhak bin Qais, ?Di Madinah terdapat seorang wanita yang dikenal dengan Ummu 'Athiyyah, lalu Rasulullah berkata kepadanya,?" (lalu menyebutkan teks hadits Ummu 'Athiyyah di atas).? Kemudian Syaikh al-Mubarakfuri, pengarang 'Aun al-Ma'bud menyebutkan bahwa hadits tersebut memiliki dua jalur lainnya, salah satunya diriwayatkan Ibn 'Adiy, dari hadits Salim bin Abdullah bin Umar secara Marfu'. Jalur lainnya diriwayatkan al-Bazzar, dari hadits Nafi' bin Abdullah bin Umar secara Marfu' akan tetapi di dalam isnadnya (yaitu lafazh al-Bazzar) terdapat Mandal bin Ali, seorang periwayat lemah. Sedangkan dalam isnad Ibn 'Adiy terdapat Khalid bin Amr al-Qurasyi, seorang periwayat yang lebih lemah dari Mandal.

5. Kemudian pengarang kitab 'Aun al-Ma'bud mengomentari, "Dan hadits tentang khitan wanita diriwayatkan dari banyak jalur yang semuanya adalah Dha'if (lemah) dan cacat, tidak boleh berhujjah dengannya.!"

6. Seperti yang dinukil dari Ibn 'Abd al-Barr, ia berkata, "Tidak terdapat Khabar (hadits) yang dapat dijadi-kan acuan dalam masalah khitan (wanita) dan tidak pula terdapat sunnah yang layak diikuti."

7. Hadits lainnya adalah hadits Usamah al-Hadzali, ia berkata, ?Rasulullah bersabda, ?Khitan itu adalah sunnah bagi kaum laki-laki dan kehormatan bagi kaum wanita,' namun ini adalah hadits lemah sebab ia dimuat di dalam Musnad Ahmad (V:75) di mana berasal dari jalur Hajjaj bin Artha'ah yang merupakan periwayat lemah dan seorang yang dikenal sebagai Mudallis.

8. Ibn Hajar di dalam Fath al-Bari (X: 341) menyebutkan beberapa Syawahid (hadits-hadits pen-dukung), di antaranya hadits Sa'id bin Bisyr, dari Qatadah, dari Jabir, dari Ibn 'Abbas. Namun tentang periwayat bernama Sa'id masih diperselisihkan. Abu asy-Syaikh juga meriwayatkan hadits Ibn 'Abbas itu dari jalur lain. Demikian pula, al-Baihaqi mengeluarkannya juga dari hadits Abu Ayyub al-Anshari.

Menurut Syaikh Musthafa al-'Adawi, setiap jalur periwayatan hadits-hadits tersebut tidak terlepas dari sorotan dan cacat.

9. Di dalam Musnad Ahmad (IV: 217) terdapat hadits dari jalur al-Hasan yang ketika ditanya mengenai sebab tidak datang ke acara khitanan, ia berkata, ?Pada masa Rasulullah, kami tidak mendatangi acara khitanan.? Mengenai hadits ini, Ibn Hajar membantahnya dengan menyatakan bahwa ia berkenaan dengan khitan seorang budak wanita, sebagaimana juga terdapat dalam sebagian jalur yang diriwayat-kan Abu asy-Syaikh. Akan tetapi hadits 'Utsman tersebut tidak valid karena di dalam isnadnya terdapat Muhammad bin Ishaq dan al-Hasan yang keduanya dikenal sebagai Mudallis. Dalam teks hadits terse-but, keduanya meriwayatkannya secara 'An-'anah (menggunakan lafazh:'An). Juga terdapat Abdullah bin Abi Thalhah bin Kuraiz yang menurut Ibn Hajar, "Maqbul."

Pendapat Para Ulama Mengenai Masalah Khitan Wanita

Di antara pendapat-pendapat tersebut:

1. Imam an-Nawawi (Syarah Muslim, I: 543) berkata, "Khitan hukum-nya wajib menurut Imam asy-Syafi'i dan kebanyakan para ulama, sedangkan menurut Imam Malik dan para ulama yang lain adalah sunnah. Menurut Imam asy-Syafi'i, ia wajib bagi kaum laki-laki dan wanita juga."

2. Ibn Qudamah berkata di dalam al-Mughni (I:85), "Ada pun khitan, maka ia wajib bagi kaum laki-laki dan kehormatan bagi kaum wanita. Ini merupakan pendapat banyak ulama?" Imam Ahmad berkata, "Bagi laki-laki lebih berat (ditekan-kan)." Kemudian beliau menyebut-kan alasannya sedangkan bagi wanita menurutnya lebih ringan. (al-Mughni, I: 85)

3. Ibn Taimiyah (Majmu' al-Fatawa, XXI: 114) ketika ditanya tentang khitan wanita, beliau menjawab, "Alhamdulillah; Ya.! Wanita dikhitan dan caranya adalah dengan memotong bagian paling atas kulit yang dikenal dengan sebutan 'Arf ad-Dik (jengger ayam jantan)." Kemudian beliau menyebutkan hadits mengenai hal itu (Hadits Usamah al-Hadzali di atas) akan tetapi hadis tersebut adalah lemah.

3. Ibn Hajar juga menukil pendapat Syaikh Abu Abdillah bin al-Hajj di dalam kitab al-Madkhal yang menyatakan adanya perbedaan terhadap khitan wanita di mana tidak dapat ditekankan secara umum, tetapi harus dibedakan antara wanita timur dan Arab. Lalu beliau menyebutkan alasan-alasannya.

Mengenai pendapat-pendapat di atas, Syaikh Musthafa al-'Adawi mengatakan, ?Alhasil, apa yang dipaparkan mengenai masalah khitan tersebut tidak terdapat dalil yang shahih dan Sharih (secara terang-terangan) yang mewajibkan wanita berkhitan. Karena itu, siapa di antara mereka yang melakukannya, maka itu adalah haknya dan bila tidak juga tidak ada masalah, Wallahu Ta'ala a'lam.?
(Hafid M Chofie)

(SUMBER: Jami' Ahkam an-Nisa' karya Syaikh Mushthafa al-'Adawi, juz I, hal.17-23)

Mungkin diantara ukhti ada yang malu untuk menanyakan masalah yang satu ini kepada ustadz atau teman ukhti. Jalan yang tepat untuk mencari jawabannya adalah dengan membaca buku yang membahas hal tersebut pro dan kontra seputar khitan bagi wanita.Atau bisa mencari literatur lainnya lewat internet.Nah,..dalam kajian fiqh muslimah kali ini, penulis akan berusaha memaparkan masalah hukum khitan bagi wanita, walau mungkin agak kurang lengkap akan tetapi bisa menambah khasanah perbendaharaan keilmuwan ukhti, insya Allah.


Sebagai informasi, Penulis juga sempat melihat kasus beberapa muslimah disini (Sydney) yang dimana didaerah asalnya mereka dikhitan dan khitannya dilakukan secara berlebihan (yaitu memangkas hingga kepangkalnya) banyak didapati pada muslimah yang berasal dari Somalia mereka mengeluhkan tidak berhasrat dalam berhubungan dengan suaminya. Pantaslah apabila Rasulullah junjungan kita melarang memotong secara berlebihan.Agar lebih jelasnya marilah kita simak fatwa beberapa ulama salaf kita yang membahas masalah ini. Khusus buat ukhti yang apabila telah membaca artikel ini tergerak untuk berkhitan maka hal itu alhamdulillah sempat penulis tanyakan kepada Ustadz Abdul Hakim Abdat dan beliau menjawab hal itu bisa dilakukan jadi tidak ada kata terlambat. Semua dikembalikan kepada pribadi masing-masing silahkan memilih dan selamat membaca,…..

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : “Apakah khitan (sunat) bagi wanita itu hukumnya wajib ataukah sunnah yang disukai saja ?”

Jawaban.
Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya dalam satu hadits,anjuran beliau untuk menyunat wanita. Beliau juga memerintahkan wanita yang menyunat untuk tidak berlebihan dalam menyunat. Tapi dalam masalah ini berbeda antara suatu negeri dengan negeri-negeri lainnya.Kadang-kadang dipotong banyak dan kadang-kadang hanya dipotong sedikit saja(ini biasanya terjadi di negeri-negeri yang berhawa dingin). Jadi sekiranya perlu dikhitan dan dipotong, lebih baik di potong. Jika tidak, maka tidak usah di potong. [Fatwa-Fatwa Albani, hal 162-163, Pustaka At-Tauhid]

Hukum Khitan Bagi Anak Perempuan
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ ditanya : “Apa hukum khitan bagi anak perempuan, apakah termasuk sunnah atau makruh?”.

Jawaban.
Khitan bagi wanita disunnahkan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallalalhu’alaihi wa sallam bahwa sunnah fitrah itu ada lima, di antaranya khitan.Juga berdasarkan riwayat Khalal dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, iaberkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Khitan itu merupakan sunnah bagi para lelaki dan kehormatan bagi para wanita” [Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta' 5/119]

Salahkah Tidak Melakukan Khitan ?
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ : “Saya mendengar khatib di masjid kami berkata di atas mimbar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalalkan khitan bagi para wanita. Kami berkata kepadanya bahwa wanita-wanita di daerah kami tidak dikhitan. Bolehkan seorang wanita tidak melakukan khitan ?”

Jawaban.
Khitan bagi wanita merupakan kehormatan bagi mereka tapi hendaknya tidak berlebihan dalam memotong bagian yang dikhitan, berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Sunnah-sunnah fitrah itu ada lima ; khitan, mencukur bulu kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak”[Muttafaq Alaih]Hadits ini umum, mencakup lelaki dan perempuan.
[Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta' 5/119,120]

Sebagian Majalah Menyebutkan Bhawa Mengkhitan Wanita Adalah Kebiasaan Buruk
Pertanyaan
.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Khitan bagi wanita termasuk sunnah ataukah kebiasaan yang buruk ? saya membaca di salah satu majalah bahwa mengkhitan wanita bagaimanapun bentuknya adalah kebiasaan buruk dan membahayakan dari sisi kesehatan, bahkan bisa menyebabkan pada kemandulan.Benarkah hal tersebut ?”

Jawaban.
Mengkhitan anak perempuan hukummnya sunnah, bukan merupakan kebiasaan
buruk,dan tidak pula membahayakan jika tidak berlebihan. Namun apabila berlebihan,bisa saja membahayakan baginya. [Fatwa Lanjah Daimah lil Ifta ; 5/120]


Hukum Berpesta Pora Dalam Perayaan Khitan

Pertanyaan.
Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : “Apa hukum mengkhitan wanita, dan apa hukum berpesta pora dalam perayaan khitan ?”

Jawaban.
Khitan bagi wanita disunnahkan dan merupakan kehormatan bagi mereka.Sedangkan berpesta dalam perayaan khitan, kami tidak mendapatkan dasarnya sama sekali dalam syari’at Islam yang suci ini. Adapun perasaan senang dan gembira karenanya, merupakan hal yang sudah seharusnya, karena khitan merupakan perkara yang disyariatkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

Artinya : “Katakanlah. Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah labih baik dari apa yang mereka kumpulkan” [Yunus : 58]

Khitan merupakan keutamaan dan rahmat dari Allah, maka membuat kue-kue pada saat dikhitan dengan tujuan untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala boleh dilakukan.
[Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta 5/123]

[Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-3, hal 121-123, Darul Haq]

Tambahan Lain Dari Beberapa Ulama Tentang Khitan

Al Mawardi rahimahullah berkata:” Khitan bagi wanita adalah memotong kulit yang berada di atas kemaluanya di atas tempat masuknya zakar seperti biji atau jengger ayam jantan. Dan yang wajib adalah memotong yang lebih darinya tapi tidak sampai ke pangkalnya.”

Khitan wajib bagi pria dan merupakan penghormatan bagiwanita, ini pendapat mayoritas ulama sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni 1/85. Dalam kitab yang sama, beliau rahimahullah menyatakan bahwasanya wanita juga disyaria’atkan khitan (1/86). Imam Ahmad rahimahullah berkata.” Pria lebih keras perintahnya untuk melaksanakan khitan karena pria bila belum khitan kulit itu akan menutupi zakar. Dan wanita lebih ringan dari itu.” Dalam hal pensyariatan khitan bagi wanita, Imam Ahmad membawakan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa salam:

Jika bertemu dua khitan, wajib mandi.”

Komentar beliau rahimahullah:”Hadits ini menunjukan bahwasanya wanita juga dikhitan.”
(lihat Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud,Ibnul Qayyim rahimahullah hal.64)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa (21/114) ketika ditanya apakah wanita dikhitan atau tidak? Beliau menjawab: “Alhamdulillah, ya, mereka juga dikhitan.Khitanya dengan memotong kulit yang paling tinggi yang seperti jengger ayam jantan. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam berkata kepada wanita tukang khitan:
Potonglah dan jangan dihabiskan, karena itu lebih indah bagi wajah dan lebih terhormat baginya di hadapan suami.”

Yakni: jangan berlebihan dalam memotongnya sampai habis, karena tujuan khitan bagi pria adalah agar najis tidak tinggal di dalam kulit zakarnya. Dan tujuan bagi wanita agar nafsunya normal.Jika wanita itu tidak dikhitan, nafsu syahwatnya menggebu-gebu�.”

Beliau rahimallah berkata lagi:”Oleh karena itu didapati pada wanita-wanita pelacur dari bangsa Tartar dan wanita eropa apa yang tidak didapati pada wanita kaum muslimin. Tapi jika memotongnya berlebihan,wanita itu akan lemah syahwatnya (frigid) maka tidak
sempurnalah tjuan si suami. Bila dipotong tanpa keterlaluan (normal) tercapailah tujuan tersebut.Wallahu a’lam.”

Bantahan Bagi Pendapat yang Menyatakan Wanita Tidak Dikhitan

Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah bab Sunnanul Fitrah berkata:”Hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengkhitan wanita adalah dlaif tidak ada yang shahih sedikitpun.”
Maka Asy-Syaikh Al-Albani hafidhahullah membantahnya:”ini tidak mutlak. Karena ada riwayat yang shahih bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa salam berkata kepada wanita tukang khitan:

Potonglah dan jangan dihabiskan, karena itu lebih indah bagi wajah dan lebih terhormat baginya dihadapan suami.”
Diriwayatkan oleh Abu Daud,Al-Bazzar,Ath-Thabrani dan lain-lain.Hadits ini memiliki jalan-jalan dan syawahid dari segolongan sahabat.Telah aku takhrij di dalam Ash-Shahihah (2/353-358) dengan luas yang mungkin engkau tidak dapati di tempat lain. Dan di sana juga telah kuterangkan bahwa khitan dikalangan salaf,berbeda dengan pendapat orang yang tidak mengerti tentang atsar.

Termasuk yang menguatkan itu adalah hadits yang masyhur:

“Jika bertemu dua khitan wajib mandi.”(Hadits ini telah ditakhrij dalam Al-Irwa no.80).Untuk lebih jelasnya silahkan merujuk dalam kitab beliau Tamamul Minah.

Berkata Ibnul Hajj dalam Al-Madkhal (3/396) : “Khitan diperselisihkan pada wanita, apakah mereka dikhitan secara mutlak atau dibedakan antara penduduk Masyriq (timur) dan Maghrib (barat). Maka penduduk Masyriq diperintah untuk khitan karena pada wanita mereka ada bagian yang bisa dipotong ketika khitan, sedangkan penduduk Maghrib tidak diperintah khitan karena tidak ada bagian tersebut pada wanita mereka. Jadi hal ini kembali pada kandungan ta’lil (sebab/alasan)”.Maksud perkataan beliau adalah bahwa ada sebagian wanita yang tidak ada pada mereka bagian yang bisa dipotong ketika khitan yaitu apa yang diistilahkan klitoris (kelentit). Kalau demikian keadaannya maka tidak dapat dinalar bila kita memerintah mereka untuk memotongnya padahal tidak ada pada mereka.Wallahu’alam bish-shawwab.Semoga penjelasan diatas bermanfaat bagi ukhti muslimah semua.

Sumber bacaan:

1.Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-3, hal 121-123, Darul Haq

2.Hukum Khusus Seputar Anak dalam Sunnah yang Suci, hal 110-112 Pustaka

Al-Haura

3.Tamamul Minnah,Koreksi Imiah Terhadap Fiqhus-Sunnah, Syaikh Albani,Pustaka Al-Mubarak.

4.Fatwa-Fatwa Albani, hal 162-163, Pustaka At-Tauhid


Mutilasi vagina atau yang saya maksud dengan Female Genital Mutilation (FGM) atau istilah halusnya SUNAT PEREMPUAN.. merupakan tindakan sengaja untuk melukai organ kelamin wanita tanpa ada indikasi medis (sumber : WHO)

Tindakan FGM ini dengan melukai organ wanita baik total ataupun partial (sebagian).. Tindakan ini sebenarnya diakrenakan faktor budaya dan juga agama tertentu.. Dan tentu saja ini banyak ditentang karena melanggar HAK ASASI MANUSIA.. Pfiuu menjadi dilema tersendiri..

Larangan FGM atau sunat perempuan diputuskan dalam Konferensi Kaum Wanita sedunia di Beijing China pada tahun 1995. Di Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa, kaum feminis telah berhasil mendorong pemerintah membuat undang-undang larangan sunat perempuan. Di Belanda, khitan pada perempuan diancam hukuman 12 tahun.

Di Indonesia sendiri khitan wanita juga dilarang secara legal, dengan alasan bahwa Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari ketentuan WHO (WHO melarang keras FGM) dan karena sunat wanita dinilai bertentangan dengan HAM.

Di Indonesia sendiri praktek khitan pada wanita sering kali salah dalam tekniknya, karena cuma dilakukan secara simbolis dengan sedikit menggores klitoris sampai berdarah, atau menyuntik klitoris, bahkan hanya menempelkan kapas yang berwarna kuning pada klistoris, atau sepotong kunyit diruncingkan kemudian ditorehkan pada klitoris anak, bahkan di daerah tertentu di luar Jawa, ada yang menggunakan batu permata yang digosokkan ke bagian tertentu klitoris anak. Itu semua hakekatnya tidak atau belum disunat. Hanya simbolik saja! Ughh..

Sebuah riset yang dilakukan oleh Population Council diketahui dari enam provinsi yang ada di Indonesia yaitu, Sumatra Barat, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Gorontalo, selama 18 bulan Oktober 2001 sampai Maret 2003 menunjukkan adanya medikalisasi sunat perempuan, walau tidak sebrutal dan sekejam seperti yang terjadi di Sudan atau Somalia, namun masyarakat banyak yang percaya bahwa sunat perempuan adalah adat Islam, hal ini ditegaskan dengan adanya salah satu hadis nabi yang dipercaya ada yang menyatakan perihal sunat perempuan.

Namun perlu dicatat, bahwa budaya sunat perempuan sudah ada jauh sebelum Islam turun. Fakta : sunat perempuan tidak dipraktekkan di negara-negara Islam seperti Saudi Arabia atau Lebanon misalnya. Budaya FGM merupakan adat budaya kuno ribuan tahun lalu, yang masih berurat akar dan berlangsung sampai saat ini khususnya di negara-negara Afrika, seperti Mesir (terutama daerah Upper Mesir), Somalia, Sudan, Ghana, dan sedikit daerah di semenanjung Arab seperti minoritas di Syiria, Turki, dan Iraq.

Pelakunya bukan saja masyarakat muslim tetapi juga masyarakat agama lainnya. Seperti di Ghana yang mayoritas beragama Nasrani, dimana praktek sunat perempuan juga dilakukan di kalangan umat Nasrani. Di Mesir sendiri, diperkirakan sekitar 90% perempuan melakukan praktek sunat, alasan yang dikemukakan adalah untuk kebaikan anak perempuan dan juga sebagai perlindungan terhadap perempuan. Pemuka agama setempat jelas-jelas membantah jika dikatakan bahwa sunat perempuan merupakan budaya Islam. Walau ada juga pemuka agama yang pro bahkan mengeluarkan fatwa bahwa sunat bagi laki-laki dan perempuan adalah wajib.

FGM, dilatarbelakangi oleh adat semenjak jaman pagan demi menjaga kesucian seorang wanita supaya masih tetap perawan sampai menjelang pernikahannya serta untuk mencegah seorang wanita menjadi binal dan melakukan pre-marital sex. Ironisnya ada sebagian perempuan-perempuan yang mengalami FGM memang benar-benar pengen tetap perawan terus, artinya rela organ intimnya dijahit kembali. Wow..!

Hukum Khitan bagi Muslim dan Muslimah
Telah pasti di dalam banyak hadits tentang disyariatkannya khitan, diantaranya :
1. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّرِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَضْفَارِ وَنَتْفُ اْلآبَاطِ
Fitrah itu ada lima, yaitu : khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.” Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6297 – Al Fath, Imam Muslim (3/27 – Imam Nawawi), Imam Malik di dalam Al Muwattha’ (1927), Imam Abu Dawud (4198), Imam Tirmidzi (2756), Imam Nasa’I (I/14-15), Imam Ibnu Majah (292), Imam Ahmad di dalam Al Musnad (2/229) dan Imam Baihaqi (8/323).
2. Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya ia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam lalu mengatakan :
قَدْ أَسْلَمْتُ فَقَالَ لَهُ النَِّبيُ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ
Sungguh saya telah masuk Islam”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Buanglah darimu buku (rambut) kekufuran dan berkhitanlah”. Hadits Hasan, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (356) dan Imam Baihaqi dari beliau (1/172) juga Imam Ahmad (3/415.)
Berkata Syaikh Al Albani di dalam Al Irwa’ (79): Ini adalah hadits hasan, karena hadits ini memiliki dua pendukung. Salah satunya dari Qatadah dan Abu Hisyam, sedangkan yang satu dari Wa’ilah bin Asqa’. Dan sunggu saya telah membicarakan tentang keduanya. Telah saya jelaskan juga di dalam Shahih Sunan Abu Dawud (no 1383) bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan hadits ini.
3. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
إِلْخَتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَانِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً
Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6298 – Al Fath), Imam Muslim (2370), Imam Baihaqi (8/325) dan Imam Ahmad (2/322-418) dan lafadz hadits ini ada pada beliau.
Didalam hadit-hadits di atas terdapat keterangan tentang disyariatkannya khitan. Dan bahwasanya orang yang tuapun tetap diperintahkan untuk melaksanakannya, jika ia belum pernah berkhitan.
Khitan bagi Wanita
Adapun tentang disyariatkannya khitan bagi para wanita, maka dalam hal ini ada beberapa hadits, diantaranya sebagai berikut ini :
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada Ummu ‘Athiyah radiyallahu ‘anha (seorang wanita juru khitan) :
أُخْفُضِي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ أَحْضَى لِلْزَوْجِ
Khitanlah (anak-anak perempuan), tetapi jangan dipotong habis! Karena sesungguhnya khitan itu membuat wajah lebih berseri dan membuat suami lebih menyukainya”. Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (5271), Imam Al Hakim (3/525), Imam Ibnu ‘Adi di dalam AL Kamil (3/1083) dan Imam Al Khatib didalam Tarikhnya (12/291).
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam :
ِإذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Apabila dua khitan (khitan laki-laki dan khitan perempuan) sudah bertemu, maka sudah wajib mandi”. Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi (108-109), Imam Syafi’I (1/36), Imam Ibnu Majah (608), Imam Ahmad (6/161), Imam Abdurrazzaq (1/245-246) dan Imam Ibnu Hibban (1173-1174- Al Ihsan).
Didalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menisbatkan khitan untuk para wanita. Maka ini menjadi dalil tentang disyariatkan juga khitan bagi mereka (wanita, red).
3. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radiyallahu ‘anha secara marfu’ :
اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْخُسْلُ
Apabila seorang lelaki telah berada di atas empat bagian tubuh istrinya, dan khitannya telah menyentuh dengan khitan istrinya, maka sudah wajib mandi”. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/291 – Al Fath), Imam Muslim (349- Imam Nawawi), Imam Abu ‘Awanah (1/289), Imam Abdurrazaq (939-940), Imam Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Imam Baihaqi (1/164).
Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam juga mengisyaratkan adanya dua tempat khitan, yaitu pada seorang lelaki dan pada seorang perempuan. Maka hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan juga dikhitan.
Imam Ahmad rahimahullah berkata : Didalam hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa para wanita dahulu juga dikhitan.
Hendaklah diketahui bahwa khitan wanita merupakan hal yang ma’ruf (dikenal umum, red) di kalangan para Salaf. Barangsiapa yang ingin menambah panjang lebar penjelasan tentang hal ini, silahkan melihat kitab Silsilatul Ahaditsush Shahihah (2/353). Karena sesungguhnya Syaikh Al Albani – semoga Allah melimpahkan pahala untuk beliau – telah menyebutkan banyak hadits dan atsar yang berkaitan dengan hal ini di dalam kitab tersebut.
Hukum Khitan
Pendapat yang rajih (kuat) adalah wajib. Dan itulah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang ada maupun kebanyakan pendapat para ulama. Dan telah pasti pula perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada seorang yang baru masuk Islam untuk berkhitan. Kata beliau kepadanya :
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ
Buanglah darimu rambut/bulu kekufuran dan berkhitanlah.”
Maka perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada orang itu untuk berkhitan ini merupakan dalil terkuat yang menunjukkan tentang wajibnya.
Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah (hal 69) berkata : “Adapun hukum khitan, maka yang rajih menurut kami adalah wajib. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i maupun Imam Ahmad. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah. Beliau membawakan lima belas sisi untuk berdalil untuk mendukung pendapat ini. Meskipun masing-masing sisi tidak kokoh (dukunganna atas pendapat ini) ketika berdiri sendiri. Akan tetapi secara keseluruhan tidak diragukan lagi kuatnya sisi-sisi pendalilan tersebut. Hanya saja disini bukan tempatnya untuk membicarakan semuanya, tetapi kami cukupkan disini untuk menyebutkan dua sisi saja, yaitu :
1. Firman Allah Ta’ala :
Kemudian Kami wahyukan…mempersekutukan Allah”. (An Nahl 123)
Khitan termasuk diantara millah (ajaran) Ibrahim ‘alaihissalam sebagaimana terdapat di dalam hadits Abu Hurairah yang akan disebutkan setelah ini. Dan ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Baihaqi yang juga disadur oleh Al Hafidz di dalam Al Fath (10/281).
2. Bahwa khitan itu merupakan syiar-syiar Islam yang paling nampak, yang membedakan antara seorang muslim dengan nashrani. Hingga kaum muslimin hampir-hampir menganggap orang yang tidak berkhitan itu tidak termasuk dari kalangan mereka (kaum muslimin).
Kami tambahkan pula sisi yang ketiga untuk mendukung dalil wajibnya khitan, yaitu yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al Fath (10/417) dari Abu Bakr Ibnul Arabi ketika beliau membicarakan tentang hadits :
الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ
Fitrah itu ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan,…”
Kata beliau : “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin”.
Hukum khitan ini umum untuk kaum pria maupun kaum wanita. Hanya saja tidak ada pada sebagian kaum wanita – bagian tubuh yang dipotong – untuk dikhitan, yaitu apa yang dinamakan dengan klitoris. Maka tidak masuk akal, kalau kita perintahkan kepada mereka untuk dipotong (dikhitan), sementara hal itu tidak ada dalilnya.
Ibnu Hajj di dalam Al Madkhal (3/396) berkata : “Diperselisihkan hukum khitan ini pada para wanita. Apakah mereka dikhitan secara mutlak ataukah dibedakan antara wanita Timur dengan wanita Barat. Adapun para wanita Timur, maka mereka diperintahkan karena adanya bagian kemaluannya (untuk dipotong), yang lebih dari asal penciptaannya. Sedangkan para wanita Barat tidak diperintahkan kepada mereka keterangan tiadanya khitan pada mereka.Sehingga hal ini kembali merujuk kepada tuntutan ‘illah (sebab yang menetapkan hukum).
Waktu Khitan
Sunggu telah berlalu penjelasan tentang hukum khitan yaitu wajib. Dan termasuk diantara hal-hal yang telah diketahui di dalam ilmu ushul fiqh, bahwasanya suatu kewajiban menuntut agar dilakukannya perintah tersebut dengan segera. Sesungguhnya telah ada di dalam sebagian hadits tentang penentuan waktu khitan, yaitu pada hari ketujuh.
Terdapat di dalam masalah ini tiga hadits yang menunjukkan bahwa khitan itu dilakukan pada hari ketujuh. Dan hadits-hadits tersebut tidak ada yang terluput dari perbincangan para ulama. Dan kami bawakan keterangan rinci tentang hal ini di dalam pembahasan berikut ini :
1. Dari Jabir bin Abdullah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain (dan beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh).
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Adi di dalam Al Kamil (3/1075), Imam Thabrani didalam Ash Shaghir (2/122), Imam Baihaqi di dalam Al Kubra (8/324) dan di dalam Asy Sy’ab (6/394) dari jalan sanad Muhammad bin Abis Sari al Atsqalani mengatakan : “ Telah bercerita kepadaku Al Walid bin Muslim dari Zuhair bin Muhammad dari Muhammad bin Munkadir darinya. Dan berkata Imam Thabrani : Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini yang menambahkan lafadz :
Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh”.
Kami katakan : Ini adalah sanad yang dhaif (lemah), padanya ada cacat yang beruntun:
- Pertama, Muhammad bin Abis Sari – Abu ‘Ashim AL Atsqalani. Al Hafidz di dalam At Taqrib berkata : Ia seorang yang shaduq (jujur) dan ‘arif, tetapi banyak keliru (dalam periwayatan). Maka kami khawatir bahwa hadits ini termasuk diantara kekeliruannya.
- Kedua, Al Walid bin Muslim telah melakukan tadlis taswiyah dan menyebutkan riwayatnya dengan “ ‘an ” dari gurunya terus ke atas
- Ketiga, Zuhair bin Muhammad. Al Hafidz di dalam At Taqrib berkata : “Periwayatan Ahlu Syam darinya tidak tetap. Oleh karenanya hadits ini dha’if”.
Beliau katakan juga dalam At Tahdzib (3/301 – 302) : “Berkata Imam Bukhari : Hadits yang diriwayatkan oleh Ahlu Syam darinya sesungguhnya merupakan hadits-hadits yang mungkar. Berkata Imam Abu Hatim : Kedudukannya sebagai orang yang jujur, tetapi hafalannya buruk. Dan haditsnya yang ada di Syam lebih mungkar dari haditsnya yang ada di Iraq. Berkata Al ‘Ajli : Ia tidak mengapa, tetapi hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ahlu Syam darinya tidak membuatku kagum”.
Kami katakan : “Hadits di atas termasuk diantara riwayat-riwayat Ahlu Syam, karena Al Walid Bin Muslim adalah seorang Dimasyqi Syami (yakni penduduk Syam –ed). Lagi pula tambahan yang tersebut di dalam hadits di atas adalah mungkar. Dimana ada tujuh sahabat yang meriwayatkan hadits ini, tetapi mereka tidak menyebutkan adanya tambahan tersebut. Ketujuh sahabat tersebut adalah : Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdullah (riwayat Abu Zubair darinya), Anas bin Malik, Abdullah bin ‘Amr, Abdullah ibnu Abbas, Buraidah Al Aslami dan Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu ‘anhum ajma’in. Tidak seorangpun dari ketujuh sahabat tersebut yang meriwayatkan tambahan lafadz : “Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh”. Hanya saja dipersilisihkan dalam tambahan ini atas Jabir radiyallahu ‘anhu. Maka Abu Zubair meriwayatkan hadits ini darinya tanpa tambahan, sehingga mencocoki riwayat jamaah shahabat yang lain, yaitu dengan lafadz bahwasanya “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain”. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah didalam Al Mushannaf (8/46), Imam Abu Ya’la (1933), Imam Thabrani di dalam AL Kabir (2573). Diriwayatkan juga hadits ini oleh Muhammad bin Munkadir dari Jabir dengan tambahan tersebut, sedangkan illahnya bukan darinya, karena ia sebagaimana dikatakan di dalam At Tahdzib : Ia seorang yang tsiqah dan utama. Akan tetapi illah tersebut dari rawi yang meriwayatkan darinya sebagaiman penjelasan yang telah lalu.
2. Dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu ia berkata :
Tujuh perkara diantara Sunnah pada anak bayi adalah : diberi nama, dikhitan,…”. Al Hadits.
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani di dalam Al Ausath (1/334-335) dari jalan sanad Rawwad bin Jaraah dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha’ darinya.
Al Hafidz di dalam At Talkhis (4/84) berkata : Di dalam sanadnya ada Rawwad bin Jaraah seorang yang dhaif. Juga beliau menyebutkan biografinya di dalam At Taqrib dengan mengatakan : Ia seorang yang shaduq (jujur), tetapi kacau hafalannya di akhir umurnya sehingga ditinggalkan.
Imam Adz Dzahabi di dalam Diwanudh Dhu’afa wal Matrukin (1/293) berkata : Ia dinyatakan tsiqah oleh Imam Ibnu Ma’in.
Imam Abi Hatim berkata : Kedudukannya sebagai orang yang jujur. Imam Daraquthni berkata : Ia dhaif.
Berkata Imam Ibnu ‘Adi didalam Al Kamil (3/1039) berkata : Umumnya riwayat yang ia bawakan dari gurunya tidak diikuti oleh orang lain. Ia seorang syaikh yang shalih, akan tetapi diantara hadits orang-orang yang shalih, ada hadits yang mugnkar. Hanya saja ia termasuk orang yang ditulis haditsnya.
Syaikh Al Albani didalam Al Irwa’ (4/385) berkata : “Saya katakan : Orang yang seperti itu keadannya apakah haditsnya dianggap atau dijadikan hujjah? Baik sebagai penguat atau pendukung ? Maka menurut kami harus diteliti. Wallahu a’lam.
Akan tetapi nampaknya syaikh Al Albani memandang rajih untuk menjadikan hadits ini sebagai pendukung. Karena beliau menyatakan di dalam Tamamul Minnah (68) tentang hadits Ibnu Abbas dan hadits Jabir radiyallahu ‘anhuma : “Akan tetapi salah satu diantara kedua hadits ini memperkuat yang lain, karena makhrajnya berbeda dan di dalam sanad kedua hadits tersebut tidak ada rawi yang tertuduh ”.
Catatan :
Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah tentang hadits Jabir (yang pertama) berkata :
Hadits ini dinisbatkan oleh Al Hafidz dalam Al Fath (10/282) kepada Imam Abu Syaikh dan Imam Baihaqi. Akan tetapi beliau mendiamkan saja. Barangkali hadits ini ada pada beliau berdua dari jalan yang lain.”
Kami katakan : Bahkan hadits tersebut diriwayatkan dari jalan sanad itu sendiri sebagaimana dinyatakan di dalam Al Fath (11/343) oleh Al Hafidz : Dan hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Syaikh dari jalan sanad Al Walid bin Muslim dari Zuhair bin Muhammad dari Ibnul Munkadir atau yang lain dari Jabir.
Maka hadits ini diriwayatkan dari jalan sanad Imam Thabrani sendiri, Imam Baihaqi maupun Imam Ibnu ‘Adi.
3. Dari Abu Ja’far ia berkata :
Dahulu Fathimah mengaqiqahi anaknya pada hari ketujuh sekaligus mengkhitannya, mencukur rambut kepalanya dan bershadaqah uang seberat timbangan rambutnya.”
Dikeluarkan hadits ini oleh Imam Ibnu Abi Syaibah didalam Mushannafnya (8/53) dari jalan ‘Abduh bin Sulaiman dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Abdul Malik bin Al Lahyan dari Abu Ja’far.
Berkata Syaikh Muhammad Ied al ‘Abasi : Abu Ja’far ini barangkali adalah Muhammad bin Ali bin Husain. Karena beliau orang yang paling masyhur dengan kuniyah tersebut. Maka berarti sanad hadits ini terputus karena Abu Ja’far tidak mendapati Fahimah radiyallanhu ‘anha.
Jadi jelas hadits ini adalah dhaif, hanya saja masih bisa dijadikan sebagai pendukung.
Ada juga di dalam Musnad Al Firdaus karya Imam Dailami dari hadits Ali sebagai pendukung keempat. Hanya saja di dalam sanadnya ada seorang kadzdzab (pendusta besar), sehingga tidak bisa dijadikan sebagai pendukung. Maka secara umum ketiga hadits di atas dengan keseluruhan jalannya menunjukkan bahwa hadits tersebut ada asalnya. Sehingga jadilah hadits ini hasan. Wallahu a’lam.
Hal ini (pelaksanaan khitan pada hari ketujuh) merupakan perbuatan bersegera kepada kebaikan sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah Ta’ala :
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu”. (QS Ali Imran 133).
Tidak diragukan lagi bahwa bersegera melakukannya lebih utama bagi seorang anak, dimana rasa sakitnya jelas lebih ringan. Berbeda dengan jika ditunda, maka ketika itu sakitnya lebih terasa. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam apabila dihadapkan kepada dua pilihan, maka tidaklah beliau memilih kecuali yang lebih mudah/ringan. Dan juga di dalam khitan terdapat penyingkapan aurat. Sedangkan penyingkapan aurat anak kecil lebih sedikit keburukannya dari pada anak yang sudah besar.
Disamping itu terdapat sebuah atsar dari Ibnu Abbas ketika beliau ditanya : “ Berapa umurmu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam wafat ?” Beliau menjawab : “Aku ketika itu sudah dikhitan. Dan dulu mereka tidak mengkhitan seseorang sampai ia menjadi anak yang paham (baligh)”.
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (11/90 – Al Fath), Imam Ahmad (1/264-287-357), Imam Thabrani di dalam Al Kabir (10/10575,10578-10579). Akan tetapi keduanya tidak mengeluarkan tambahan lafadz : Dan dulu mereka tidak mengkhitan….
Al Isma’ili menganggap cacat atsar ini dengan alasan goncang, hal ini karena adanya perbedaan umur yang telah dicapai oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu. Maka beliau mengatakan : Sesungguhnya perkataan : “Dan dulu mereka tidak mengkhitan…”, adalah perkataan yang dimasukkan ke dalam atsar ini. Akan tetapi disanggap pernyataan beliau ini oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al Fath (11/90), maka lihatlah kesana karena pentingnya hal ini.
Maka atsar ini menunjukkan atas bolehnya menunda khitan hingga anak tersebut mencapai usia baligh. Karena atsar tersebut menjelaskan tentang amalan kebanyakan para shahabat dalam hal khitan ini dan menunda hingga anak mencapai usia baligh. Dan tidak ragu lagi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam telah hidup bersama mereka. Maka kalau saja perbuatan mereka tersebut menyelisihi syariat, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan hal ini kepada mereka. Sehingga hal ini merupakan indikasi yang mengalihkan perintah tersebut dari bersegera melakukannya. Hanya saja masih tetap ada wajibnya perintah ini, maka tidak boleh untuk menunda khitan tersebut sampai melebihi usia baligh.
Al ‘Allamah Al Mawardi sebagaimana disebutkan di dalam Fathul Bari (10/342) berkata : Dalam hal khitan ada dua waktu ; yaitu waktu Wajib dan waktu Sunnah. Waktu Wajib adalah ketika baligh dan waktu Sunnah adalah sebelumnya. Yang terbagus adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Dan disukai agar tidak menunda dari waktu Sunnah kecuali karena udzur.
Berkata Al Haitsami di dalam Az Zawajir (2/163) :
Yang benar bahwasanya jika kami menyatakan wajibnya khitan berarti meninggalkannya tanpa udzur adalah suatu kefasikan. Maka pahamilah bahwa pembicaraan hal ini hanyalah berkisar pada khitan bagi kaum pria bukan kaum wanita. Sehingga kaum pria dikatakan melakukan perbuatan fasik dengan meninggalkan khitan ini. Dan jika perbuatan ini dikatakan sebagai kefasikan, berarti itu merupakan dosa besar.”
Sumber dari terjemahan kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah karya Salim Rasyid Asy Syibli dan Muhammad Khalifah Muhammad Rabaah penerbit Maktab Al Islami Beirut terbitan pertama 1994 M/1415 H. Edisi Indonesia : Menyambut Si Buah Hati, Bab Hal-hal yang terjadi pada hari ketujuh setelah melahirkan, sub bab Khitan, penerjemah Abu Yahya Muslim. Penerbit Ash Shaf Media Jl. Mukhas Gg III no 23 Tegal Jateng 522122 HP 08156932569. Email ashshaf @ gmail.com
Dikutip dari http://salafy.or.id Penulis: Salim Rasyid Asy Syibli, Muhammad Khalifah, Judul: Hukum Khitan bagi Muslim dan Muslimah
Baca Risalah terkait ini :
1.Fiqih Tentang Masalah Darah Wanita (Mengenal Darah-darah Wanita)
2.Larangan Mencabut dan Mengerik Bulu Alis
3.Pilihlah Wanita yang Memiliki Agama
4.8 (Delapan) Hal Wanita Sholat Berjam’ah di Masjid
5.NASEHAT BAGI WANITA YANG TERLAMBAT NIKAH
6.Bagaimana Mendambakan Wanita Sholehah ?
Pertama saya doakan semoga ustadz dalam keadaan sehat walafiat tak kurang suatu apapun.
Beberapa minggu lagi, istri saya akan melahirkan bayi kami yang pertama. Menurut USG Rumah Sakit, diperkirakan anak kami perempuan. Yang ingin kami tanyakan adalah mengenai sunat pada anak kami nantinya. Dari kesehatan sendiri seperti yang saya baca, sunat pada wanita dianjurkan tidak dilaksanakan karena katanya melanggar hak asasi wanita kelak saat sudah menikah. Tapi dari sisi agama saya belum menemukan jawabannya. Apakah sunat pada wanita di wajibkan? Apakah Rasul melakukan hal ini dulunya? Apakah ada dalil-dalil yang menguatkan hal ini?
Atas jawaban nya saya ucapkan terima kasih pak ustadz. 
Andi Mulya

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb
Khitan merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah saw, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh berkata : Rasulullah saw bersabda,”Lima hal yang termasuk fitrah adalah mencukur bulu kemaluan, khitan (sunat), mencukur kumis, mencabut bulu ketiak dan menggunting kuku.” (HR. Jama’ah)
Al Khottobi mengatakan,”Kebanyakan ulama berpendapat bahwa maksud dari fitrah adalah sunnah, demikian pula dikatakan oleh yang lainnya.” Mereka mengatakan bahwa hal-hal itu termasuk sunnah para Nabi.” Ada sekelompok lainnya yang mengatakan bahwa makna fitrah adalah agama, sebagaimana pendapat Abu Nu’aim dalam “al Mustakhraj”.
Asy Syeikh Abu Ishaq mengatakan bahwa makna fitrah dalam hadits adalah agama. Ibnu Shalah melihat ketidak-jelasan dalam pendapat al Khottobi dan mengatakan bahwa makna fitrah jauh dari makna sunnah akan tetapi bisa jadi ada suatu kata yang dihilangkan yaitu sunnatil fitrah. Belakangan Nawawi mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh al Khottobi adalah benar. (Fathul Bari juz X hal 398)
Dan khitan baik pada laki-laki maupun wanita adalah sesuatu yang disyariatkan didalam Islam. Hal itu bisa dilihat penyebutan kata khitan—baik pada laki-laki maupun wanita—oleh Rasulullah saw didalam beberapa hadits, seperti yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seseorang duduk diantara anggota tubuh perempuan yang empat, maksudnya; diantara dua tangan dan dua kakinya dan khitan (laki-laki) dengan khitan (perempuan), maksudnya; kemaluan laki-laki dimasukan kedalam kemaluan perempuan maka wajib baginya mandi.” (HR. Muslim)
Juga didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah al Anshoriyah bahwa ada seorang wanita Madinah yang dikhitan kemudian Nabi saw mengatakan kepadanya,”Janganlah kamu berlebihan dalam khitan (memotongnya). Sesungguhnya hal itu akan menambah kelezatan bagi wanita dan akan disukai oleh suami.” (HR. Abu Daud)
Khitan pada kaum laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi ujung kemaluan. Sedangkan khitan pada kaum wanita adalah memotong sedikit saja kulit bagian atas yang muncul ke permukaan dari kemaluan.
Adapun tentang hukum khitan (sunat) maka telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama :
1. Para ulama Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa khitan disunnahkan bagi laki-laki dan mulia bagi wanita, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Khitan disunnahkan bagi kaum laki-laki dan mulia bagi kaum wanita.” (HR. Ahmad Baihaqi)
2. Sedangkan para ulama Syafi’i dan Hambali mewajibkan khitan baik pada laki-laki maupun wanita berdasarkan sabda Rasulullah saw kepada seorang yang masuk islam,”Cukurlah rambut tanda kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Abu Daud)
Juga yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh,”Ibrahim as kekasih Allah swt dikhitan setelah usianya mencapai 80 tahun dan dikhitannya dengan menggunakan kapak.” (Muttafaq Alaih) Khitan merupakan syi’ar islam yang diwajibkan sebagaimana syi’ar-syi’ar islam yang lainnya. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz I hal 461)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika ditanya apakah seorang wanita dikhitan? Beliau menjawab,”Ya dikhitan dan khitannya adalah memotong bagian atas kulit yang dikenal seperti pelatuk (biji). Rasulullah saw mengatakan kepada seorang wanita yang dikhitan,’Potonglah sedikit dan jangan berlebihan, sesungguhnya hal itu menyenangkan jiwa dan menambah kenikmatan saat berhubungan.” (HR. Abu Daud) maksudnya adalah jangan berlebihan dalam memotong.
Tujuan dari dikhitannya laki-laki adalah untuk mensucikannya dari najis yang bertumpuk di ujung kemaluan sedangkan tujuan dari dikhitannya wanita adalah menyeimbangkan syahwatnya karena apabila—tidak dikhitan—dan ketika melihat kaum laki-laki maka gejolak syahwatnya akan sangat kuat.
Karena itu disebutkan dalam sebuah sindiran,”Wahai ibnu qulfa ! sesungguhnya qulfa adalah orang yang sering memandang laki-laki, maka kita dapati berbagai prilaku tak senonoh yang ada pada para wanita Tartar dan Eropa yang hal tersebut tidak kita dapati pada para wanita muslimah. Namun jika pemotongannya dalam khitan terlalu berlebihan maka ia akan memperlemah syahwatnya dan tidak dapat memberikan kesempurnaan kepuasan pada suami sedangkan jika dipotong sedikit (tidak berlebihan) maka ia akan menyeimbangkannya.” (Majmu’ Fatawa juz XXI hal 68)
Memang ada yang mengatakan bahwa khitan tidaklah dianjurkan dari aspek medis dikarenakan ia akan menyulitkan saat buang air kecil, tidak memberikan kepuasan pada pasangannya saat berhubungan atau menyulitkan saat melahirkan.
Jadi saya menyarankan kepada anda, saudara Andi, agar berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter yang bisa dipercaya untuk meminta pendapatnya apabila putri anda kelak ingin dikhitan. Jika dokter itu mengatakan bahwa khitan akan berbahaya bagi putri anda maka sebaiknya tidak perlu dikhitan sedangkan jika ia mengatakan yang sebaliknya maka silahkan jika anda ingin mengkhitannya.
Wallahu A’lam

Hukum Khitan Dan Disyariatkan Khitan Bagi Wanita

Kamis, 24 Juni 2004 21:12:39 WIB

HUKUM KHITAN


Oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.


Yang paling rajih hukum khitan adalah wajib, ini yang ditujukkan oleh dalil-dalil dan mayoritas pendapat ulama. Perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tsabit terhadap seorang laki-laki yang telah ber-Islam untuk berkhitan. Beliau bersabda kepadanya :

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ

Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah".

Ini merupakan dalil yang paling kuat atas wajibnya khitan.

Berkata Syaikh Al-Albani dalam 'Tamamul Minnah hal 69 :

"Adapun hukum khitan maka yang tepat menurut kami adalah wajib dan ini merupakan pendapatnya jumhur seperti Imam Malik, Asy-Syafi'i, Ahmad dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Qayyim. Beliau membawakan 15 sisi pendalilan yang menunjukkan wajibnya khitan. Walaupun satu persatu dari sisi tersebut tidak dapat mengangkat perkara khitan kepada hukum wajib namun tidak diragukan bahwa pengumpulan sisi-sisi tersebut dapat mengangkatnya. Karena tidak cukup tempat untuk menyebutkan semua sisi tersebut maka aku cukupkan dua sisi saja :

1. Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Kemudian Kami wahyukan kepadamu ; 'Ikutilah millahnya Ibrahim yang hanif" [An-Nahl : 123]

Khitan termasuk millah Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang telah lalu. Sisi ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana kata Al-Baihaqi yang dinukil oleh Al-Hafidzh (10/281).

2. Khitan termasuk syi'ar Islam yang paling jelas, yang dibedakan dengan seorang muslim dari seorang nashrani. Hampir-hampir tidak dijumpai dari kaum muslimin yang tidak berkhitan" [selesai ucapan Syaikh]"

Kami tambahkan sisi ke tiga yang menunjukkan wajibnya khitan. Al-Hafizh menyebutkan sisi ini dalam 'Fathul Baari (10/417)' dari Imam Abu Bakar Ibnul Arabi ketika ia berbicara tentang hadits : "Fithrah itu ada lima ; khitan, mencukur rambut kemaluan ....". Ia berkata :

"Menurutku kelima perkara yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib. Karena seseorang jika ia meninggalkan lima perkara tersebut tidak tampak padanya gambaran bentuk anak Adam (manusia), lalu bagaimana ia digolongkan dari kaum muslimin" (Selesai ucapan Al-Imam)"

Hukum khitan ini umum bagi laki-laki dan wanita, hanya saja ada sebagian wanita yang tidak ada pada mereka bagian yang bisa dipotong ketika khitan yaitu apa yang diistilahkan klitoris (kelentit). Kalau demikian keadaannya maka tidak dapat dinalar bila kita memerintah mereka untuk memotongnya padahal tidak ada pada mereka.

Berkata Ibnul Hajj dalam Al-Madkhal (3/396) :

"Khitan diperselisihkan pada wanita, apakah mereka dikhitan secara mutlak atau dibedakan antara penduduk Masyriq (timur) dan Maghrib (barat). Maka penduduk Masyriq diperintah untuk khitan karena pada wanita mereka ada bagian yang bisa dipotong ketika khitan, sedangkan penduduk Maghrib tidak diperintah khitan karena tidak ada bagian tersebut pada wanita mereka. Jadi hal ini kembali pada kandungan ta'lil (sebab/alasan)".

DISYARIATKANNYA KHITAN BAGI WANITA


KHITAN
Telah tsabit masalah khitan dalam sunnah yang suci dalam beberapa hadits di antaranya :

1. Abu Haurairah Radhiyallahu 'anhu berkata : 'Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّرِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَضْفَارِ وَنَتْفُ اْلآبَاطِ

"Artinya : Fithrah itu ada lima : Khitan, Mencukur bulu kemaluan, Memotong kumis, Menggunting kuku dan Mencabut bulu ketiak" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (6297 - Fathul Bari), Muslim (3/257 - Nawawi), Malik dalam Al-Muwatha (1927), Abu Daud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa'i (1/14-15), Ibnu Majah (292), Ahmad dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)]

2. Dari Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya kakeknya datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata. "Aku telah masuk Islam". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya.

قَدْ أَسْلَمْتُ فَقَالَ لَهُ النَِّبيُ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ

"Artinya : Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah" [Hasan, Dikeluarkan Abu Daud (356), Ahmad (3/415) dan Al-Baihaqi (1/172). Berkata Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa' (79) : Hadits ini hasan karena memiliki dua syahid, salah satunya dari Qatadah Abu Hisyam dan yang lainnya dari Watsilah bin Asqa'. Aku telah berbicara tentang kedua hadits ini dan aku terangkan pendalilan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengannya dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor (1383)]

3. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahawasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِلْخَتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَانِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً

"Artinya : Nabi Ibrahim berkhitan setelah beliau berusia 80 tahun" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (6298 - Fathul Bari), Muslim (2370), Al-Baihaqi (8/325), Ahmad (2/322-418) dan ini lafadz beliau]

Dalam hadits-hadits di atas ada keterangan masyru'nya khitan dan orang
dewasa jika beluam dikhitan juga diperintahkan melakukannya.

DISYARI'ATKANNYA KHITAN BAGI WANITA
Dalam hal ini ada beberapa hadits, di antaranya.

1. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ummu Athiyah (wanita tukang khitan):

أُخْفُضِي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ أَحْضَى لِلْزَوْجِ

"Artinya : Khitanlah dan jangan dihabiskan (jangan berlebih-lebihan dalam memotong bagian yang dikhitan) karena yang demikian lebih cemerlang bagi wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami" [Shahih, Dikeluarkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291)]

2. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

"Artinya : Bila telah bertemu dua khitan (khitan laki-laki dan wanita dalam jima'-pent) maka sungguh telah wajib mandi (junub)" [Shahih, Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (108-109), Asy-Syafi'i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad (6/161), Abdurrazaq (1/245-246) dan Ibnu Hibban (1173-1174 - Al Ihsan)]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menisbatkan khitan pada wanita, maka ini merupakan dalil disyariatkan juga khitan bagi wanita.

3. Riwayat Aisyah Radhiyallahu 'anha secara marfu'.

اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْخُسْلُ

"Artinya : Jika seorang lelaki telah duduk di antara cabang wanita yang empat (kinayah dari jima, -pent) dan khitan yang satu telah menyentuh khitan yang lain maka telah wajib mandi (junub)" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1/291 - Fathul Bari), Muslim (249 - Nawawi), Abu Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940), Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Al-Baihaqi (1/164)]

Hadits ini juga mengisyaratkan dua tempat khitan yang ada pada lelaki dan wanita, maka ini menunjukkan bahwa wanita juga dikhitan.

Berkata Imam Ahmad : "Dalam hadits ini ada dalil bahwa para wanita dikhitan" [Tuhfatul Wadud].

Hendaklah diketahui bahwa pengkhitanan wanita adalah perkara yang ma'ruf (dikenal) di kalangan salaf. Siapa yang ingin mendapat tambahan kejelasan maka silahkan melihat 'Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (2/353) karena di sana Syaikh Al-Albani -semoga Allah memberi pahala pada beliau- telah menyebutkan hadits-hadits yang banyak dan atsar-atsar yang ada dalam permasalahan ini.

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud fi Sunnatil Muththarah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak dalam Sunnah yang Suci, hal 110-112 Pustaka Al-Haura]

Hukum Khitan Untuk Wanita
Kita menyadari bahwa hukum khitan itu berbeda-beda tergantung dari siapa yang mengistimbath hukumnya. Para fuqaha sebagai kalangan yang memiliki otoritas dalam mengeluarkan hukum-huukm fiqih dari dalil-dalil yang rinci baik dari alquran dan sunnah ternyata tidak satu kadta dalam menentukan hukum khitan ini.
Kita melihat ada beberapa titik perbedaan pendapat yang bila kita sarikan akan terbagi menjadi beberapa pendapat, yaitu :
1. Pendapat pertama :
Khitan Hukumnya sunnah bukan wajib Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi
(lihat Hasyiah Ibnu Abidin : 5-479;al-Ikhtiyar 4-167), mazhab Maliki (lihat As-syarhu As-shaghir 2-151)dan Syafi`i dalam riwayat yang syaz (lihat Al-Majmu` 1-300).
Menurut pandangan mereka khitan itu hukumnya hanya sunnah bukan wajib, namun merupakan fithrah dan syiar Islam. Bila seandainya seluruh penduduk negeri sepakat untuk tidak melakukan khitan, maka negara berhak untuk memerangi mereka sebagaimana hukumnya bila seluruh penduduk negeri tidak melaksanakan azan dalam shalat.
Khusus masalah mengkhitan anak wanita, mereka memandang bahwa hukumnya mandub (sunnah), yaitu menurut mazhab Maliki, mazhab Hanafi dan Hanbali.
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ibnu Abbas marfu` kepada Rasulullah SAW,
`Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita.` (HR Ahmad dan Baihaqi).
Selain itu mereka juga berdalil bahwa khitan itu hukumnya sunnah bukan wajib karena disebutkan dalam hadits bahwa khitan itu bagian dari fithrah dan disejajarkan dengan istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. Padahal semua itu hukumnya sunnah, karena itu khitan pun sunnah pula hukumnya.
2. Pendapat kedua,
Khitan itu Hukumnya Wajib Bukan Sunnah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Syafi`i (lihat almajmu` 1-284/285 ; almuntaqa 7-232), mazhab Hanbali (lihat Kasysyaf Al-Qanna` 1-80 dan al-Inshaaf 1-123).
Mereka mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib baik baik laki-laki maupun bagi wanita. Dalil yang mereka gunakan adalah ayat Al-Quran dan sunnah :
`Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus` (QS. An-Nahl : 123).
Dan hadits dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
`Nabi Ibrahim as. berkhitan saat berusia 80 dengan kapak`. (HR. Bukhari dan muslim).
Kita diperintah untuk mengikuti millah Ibrahim as. karena merupakan bagian dari syariat kita juga`.
Dan juga hadits yang berbunyi,
`Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah` HR. HR As-Syafi`i dalam kitab Al-Umm yang aslinya dri hadits Aisyah riwayat Muslim).
3. Pendapat ketiga :
Wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita.
Pendapat ini dipengang oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita tapi tidak wajib. (lihat Al-Mughni 1-85)
Diantara dalil tentang khitan bagi wanita adalah sebuah hadits meski tidak sampai derajat shahih bahwa Rasulullah SAW pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi sebagai pengkhitan anak wanita. Rasulullah SAW bersabda,:
`Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami.
Jadi untuk wanita dianjurkan hanya memotong sedikit saja dan tidak sampai kepada pangkalnya. Namun tidak seperti laki-laki yang memang memiliki alasan yang jelas untuk berkhitan dari sisi kesucian dan kebersihan, khitan bagi wanita lebih kepada sifat pemuliaan semata. Hadits yang kita miliki pun tidak secara tegas memerintahkan untuk melakukannya, hanya mengakui adanya budaya seperti itu dan memberikan petunjuk tentang cara yang dianjurkan dalam mengkhitan wanita.
Sehingga para ulama pun berpendapat bahwa hal itu sebaiknya diserahkan kepada budaya tiap negeri, apakah mereka memang melakukan khitan pada wanita atau tidak. Bila budaya di negeri itu biasa melakukannya, maka ada baiknya untuk mengikutinya. Namun biasanya khitan wanita itu dilakukan saat mereka masih kecil.
Sedangkan khitan untuk wanita yang sudah dewasa, akan menjadi masalah tersendiri karena sejak awal tidak ada alasan yang terlalu kuat untuk melakukanya. Berbeda dengan laki-laki yang menjalankan khitan karena ada alasan masalah kesucian dari sisa air kencing yang merupakan najis. Sehingga sudah dewasa, khitan menjadi penting dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar